Banyumas – Nama Ari Nugroho sudah lama dikenal di dunia jurnalistik Banyumas. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman ini memulai karier sejak tahun 2003 di Banyumas TV sebagai presenter. Sejak 2008 hingga sekarang, ia dipercaya memimpin redaksi. Lebih dari dua dekade berkecimpung di dunia media, Ari tidak hanya dikenal sebagai jurnalis, tetapi juga sosok yang peduli terhadap masyarakat. Bagi Ari, profesi jurnalis memberikan kesempatan untuk terus mendapatkan wawasan baru sekaligus menyuarakan kondisi masyarakat. “Banyak hal yang harus dipotret dan diinformasikan. Jurnalistik membuat saya lebih dekat dengan masyarakat,” ujar Ari.
Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menjadi titik balik bagi Ari. Di tengah keterbatasan aktivitas, ia mulai menekuni dunia fashion dengan mengikuti kursus menjahit serta belajar desain. Dari upaya tersebut lahirlah brand fashion Dejarumi, yang berasal dari bahasa Banyumas dan berarti “dijahit”. Melalui Dejarumi, Ari berharap dapat menjalin hubungan baik dengan pengrajin, desainer, hingga konsumen.
Menurut Ari, Dejarumi bukan sekadar merek, melainkan juga cerminan cara pandangnya yang selalu mengaitkan karya dengan nilai sosial. Dalam perjalanannya, Ari menggandeng perempuan serta penyandang disabilitas, terutama tunarungu dan tunawicara, untuk ikut memproduksi busana. “Awalnya hanya satu orang difabel. Sekarang sudah tiga yang bergabung. Saya ingin usaha ini memiliki dampak sosial nyata,” jelasnya.
Ia menambahkan, para penyandang disabilitas sesungguhnya memiliki bakat luar biasa, hanya saja sering terkendala akses dan kesempatan. “Mereka sangat berbakat, tetapi karena keterbatasannya, mereka tidak memiliki wadah yang sesuai,” tambah Ari.

Dengan tagline fashion, style, and donate, sebagian hasil penjualan Dejarumi didedikasikan untuk pemberdayaan disabilitas. Dejarumi mengusung wastra Indonesia seperti batik, tenun, dan lurik, dengan fokus pada batik Banyumas agar lebih dikenal, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Koleksi Dejarumi memadukan teknik klasik dengan gaya kontemporer, serta menyesuaikan tren global. “Saya ingin mematahkan anggapan bahwa batik itu kuno. Dejarumi menghadirkan batik ready to wear yang cocok dipakai sehari-hari,” kata Ari. Motif busana Dejarumi terinspirasi dari literatur maupun ikon khas Banyumas. Setiap desain dibuat dengan konsep bercerita. “Setiap kain memiliki kisah, dan itu yang membedakannya dengan fast fashion serta menjadi ciri khas Dejarumi,” ujar Ari.
Ari mengakui, keberadaan fast fashion menjadi tantangan tersendiri. Produk massal yang murah sering kali sulit disaingi. Namun, ia optimis bahwa konsep fashion with story justru menjadi nilai tambah bagi Dejarumi.
Konsistensi tersebut membuahkan hasil. Karya Dejarumi telah tampil di Semarang Fashion Trend, pameran di Kalimantan, lolos kurasi tingkat nasional, hingga dibawa dalam tur internasional di lima kota di Prancis dan Jepang.
Meski demikian, Ari tetap rendah hati. Baginya, perjalanan ini baru permulaan. Ia berharap kiprahnya di dunia jurnalistik maupun fashion bisa menjadi inspirasi bahwa kreativitas tidak mengenal batas. Setiap keinginan pasti memiliki jalan untuk diwujudkan.
Editor: Ika Sari Nur Widya