Sumber: Dokumentasi HIMADIKSI
Purwokerto – Kuliah bukan hanya sebatas hadir di kelas dan mendengarkan dosen, tetapi juga bagaimana memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk terus tumbuh dan berkembang di dalam maupun di luar akademik. Sosok Ayu Imroatul telah membuktikan akan hal itu. Selain menjadi seorang mahasiswi, ia juga adalah seorang santri di Pondok Pesantren Al-amin Grendeng. Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswi dan santri, ia tetap konsisten aktif di organisasi kampus dan bekerja sampingan di suatu Lembaga pendidikan non formal. Perjalanannya hingga kini tentunya penuh tantangan, tetapi juga sangat menginspirasi.
Jejaknya dimulai sejak ia menginjak bangku MTS, Ayu sudah aktif di berbagai organisasi sekolah maupun di luar sekolah. Ia dipercaya untuk menjadi pengurus harian OSIS, menjabat sebagai ketua IPPNU di tingkat desa hingga kecamatan, bahkan menjadi pembicara pelatihan desain grafis. Langkahnya berlanjut hingga ke jenjang perguruan tinggi. Jiwa kepemimpinannya mendorong Ayu untuk terus aktif dalam berorganisasi. Pada tahun pertama perkuliahan, Ayu aktif di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas. Baginya, organisasi adalah ruang belajar banyak hal dan memperluas relasi. “Kalau bukan kamu dan bukan saat itu, ya kapan lagi,” ujarnya. Tidak berhenti sampai disitu, ia juga pernah menjadi tutor PKBM serta melanjutkan mengikuti organisasi himpunan mahasiswa prodi setelah demisioner dari BEM. Menjadi tutor di PKBM, mengajarkannya tentang semangat pendidikan. Melihat orang tua yang sibuk bekerja tetapi masih dapat berjuang menempuh pendidikan, membuat ayu semakin bersemangat untuk terus melanjutkan perjalanan pendidikannya sendiri. Filosofinya sederhana “Lakukan apa yang orang lain tidak lakukan”.
Walaupun jalan yang ditempuhnya tidak selalu mudah. Pada tahun pertama, Ayu sebagai mahasiswa baru harus beradaptasi di lingkungan pondok sambil terus mengejar target hafalan Al-Qur’an satu juz dalam dua bulan. Di tengah kejaran target hafalan tentunya ada rasa homesick dan jadwal padat yang sempat membuatnya goyah. Syukurnya, ia bisa melewati hal tersebut. Tantangan terbesar yang dilaluinya datang pada semester kedua. Berbagai jadwal padat yang memenuhi pikirannya seperti Ujian Akhir Semesterr, proyek perkuliahan, persiapan khataman juz 30 bil ghoib, serta kesibukannya di organisasi yang berlangsung secara bersamaan membuatnya sedikit kewalahan dalam memanajemen waktu. Naik semester tentunya naik juga kesibukan. Pada tahun berikutnya lebih berat lagi, ketika ia harus menjadi steering committee di salah satu acara himpunan mahasiswa, mengikuti lomba fakultas hingga tingkat nasional, tugas yang menumpuk, serta target hafalan membuat kesehatannya menurun.

Sumber: Youtube Al-Amin Grendeng
Meskipun demikian, Ayu memiliki cara untuk bangkit melalui nasehat sang ibu—“Jika melakukan sesuatu, niatkan untuk ibadah agar terasa ringan”— telah menjadi pegangan untuk kembali bangkit. Dalam menghadapi jadwal yang padat, ia terbiasa untuk membuat to do list agar dapat memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Waktu pagi hingga sore adalah waktuya untuk kuliah dan berorganisasi, waktu petang ia memanfaatkannya untuk mengaji, waktu malam untuk belajar, dan disela-sela kuliah untuk mengerjakan tugas ataupun mempersiapkan lomba. Manajemen waktu yang baik membuatnya sedikit demi sedikit dapat beradaptasi dengan kesibukan yang ada.
Sebagai penutup, Ayu berharap untuk bisa lebih menyayangi dirinya sendiri, menjaga kesehatan, serta tetap bisa bermanfaat bagi orang sekitar. Ia juga berharap agar bisa lulus tepat waktu, khatam Al-Qur’an sesuai target yang direncakan, serta terus berkembang lebih baik. “Semua orang yang ditemui adalah guru dalam kehidupan sehari-hari,” katanya sebagai penutup wawancara. Prinsip tersebut telah menjadi pegangan dalam menjalani langkah demi langkah kehidupan yang menjadi inspirasi bagi mahasiwa lain yang tengah berjuang menyeimbangkan cita, cinta, dan cita-cita.
Editor: Aisyananda Salsabila