Dari Riset ke Aksi: Prof. Imam Widhiono Selamatkan Penyerbuk dan Berdayakan Warga

Purwokwerto – Prof. Dr.rer.nat. Imam Widhiono, M.Z., M.S., Guru Besar Entomologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), mendedikasikan hidupnya untuk penelitian dan pelestarian serangga penyerbuk. Sejak 2009, risetnya tak hanya menghasilkan publikasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat.

Prof. Dr.rer.nat. Imam Widhiono M.Z., M.S., Guru Besar Entomologi Universitas Jenderal Soedirman (Foto: Media Tajam)

Prof. Imam Widhiono dikenal sebagai salah satu pakar entomologi. Perjalanan kariernya dimulai sejak kuliah sarjana, dimana ia sudah menekuni dunia serangga. Minat itu terus berlanjut pada jenjang magister dan doktoral. “Sejak S1, S2, S3, saya selalu meneliti serangga,” ujarnya. Pilihan mendalami bidang ini dilandasi kenyataan bahwa dahulu masih sedikit ahli serangga di Indonesia.

Ketertarikan Prof. Imam pada serangga penyerbuk muncul karena peran yang sangat penting dalam keberlanjutan ekosistem dan ketahanan pangan. “Hampir semua tanaman berbunga bergantung pada serangga untuk penyerbukan. Jika serangga ini terancam, dampaknya bukan hanya ekologis, tetapi juga ekonomi,” jelasnya. Perubahan perilaku manusia dan pemanasan global membuat populasi serangga penyerbuk kian terancam, sehingga penelitian ini menjadi semakin mendesak.

Sejak 2009, penelitian intensif yang dilakukan Prof. Imam menghasilkan berbagai penemuan penting, ia menulis dua buku dan banyak publikasi internasional mengenai keragaman serta nilai ekonomi serangga penyerbuk. Dalam penelitiannya, ia mengungkap keragaman lebah di Indonesia, termasuk lebah tak bersengat (stingless bee) seperti Heterotrigona itama dan tetragonula biroi. “Awalnya Heterotrigona itama di duga hanya ada di Kalimantan, tetapi penelitian saya menemukan spesies ini ada di Purbalingga, Pekalongan, Purworejo, hingga Pengandaran,” ungkapnya.

Lokasi penelitian awal dipilih di Desa Serang, Purbalingga, karena kawasan ini kaya akan tanaman hortikultura seperti tomat, cabai, kacang panjang, dan strawberry. Tantangan terbesar yang ditemui di lapangan adalah penggunaan pestisida secara berlebihan. “Penggunaan pestisida luar biasa di lapangan, itu yang paling berat,” katanya.

Hasil penelitian tersebut kemudian diterapkan kepada masyarakat sejak  2022. Prof. Imam membina kelompok ibu-ibu PNM Mekar dan petani hutan di berbagai desa, termasuk Notog, Klinting Somagede, dan Banjarnegara. Pembinaan ini meliputi budidaya lebah penyerbuk, pengolahan madu, hingga pemasaran digital. “Kami ajari mereka membuat akun, desain kemasan, branding, sampai cara menjual secara online,” jelasnya.

Pendanaan program tidak membebani warga. “Kami kombinasikan dari Unsoed, BUMN, dan Kementerian Keuangan,” jelasnya. Tahun 2023 didukung BUMN untuk kelompok nasabah mereka, 2024–2025 oleh Kementerian Keuangan, dan Unsoed membiayai kelompok mandiri beranggotakan 28 orang. Kelompok ini kini ditingkatkan untuk memperbesar produksi dan penyediaan koloni lebah.

Respons masyarakat terhadap program ini cukup baik. Kolaborasi menjadi kunci keberhasilan, karena Prof. Imam tidak bekerja sendirian. Ia melibatkan kepala desa, dosen biologi, dan rekan-rekan dari laboratorium entomologi. Selain itu, dosen sosiologi turut berperan dalam pemberdayaan masyarakat, sementara dosen agribisnis membantu aspek pemasaran, branding, dan digital marketing. Kerja sama juga dilakukan dengan cabang Dinas Kehutanan. Strategi perekrutan peserta dilakukan secara selektif agar program berjalan efektif. “Saya tidak berharap 100% peserta bertahan. Kalau 50% saja eksis, itu sudah bagus,” ujarnya.

Komitmen Prof. Imam terhadap kelestarian serangga penyerbuk sejalan dengan harapannya bagi masa depan pertanian Indonesia. Ia percaya, keberadaan serangga penyerbuk adalah kunci ketahanan pangan nasional. “Kalau serangga penyerbuk lestari, pangan aman, ekosistem terjaga,” pungkasnya.

Editor : Linda Rahma Agnia

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *