
Pempek Palembang (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Tegal, 7 September 2025 – Aroma khas kuah cuko tercium sangat kuat di sudut jalan. Di tengah deretan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai makanan, sebuah lapak sederhana dengan papan bertuliskan “Pempek Asli Palembang” tampak ramai oleh pengunjung. Makanan berbahan dasar ikan dan sagu itu seolah menjadi magnet bagi mahasiswa, pekerja kantoran, hingga wisatawan yang melintas.
Pempek, kuliner legendaris dari Palembang, memang memiliki cita rasa unik yang mampu menembus batas budaya dan daerah. Teksturnya yang kenyal berpadu dengan kuah cuko bercitarasa asam, manis, dan pedas, menjadikan makanan ini tak pernah lekang oleh waktu.
Seorang pedagang pempek, Yuni, berbagi kisahnya kepada saya saat ditemui di lapaknya.
“Dulu saya hanya berjualan di rumah membantu orangtua, menitipkan pempek di warung-warung makan. Lama-kelamaan banyak yang suka, akhirnya saya berani membuka lapak sendiri yang terletak di Jalan Kertapati, Palembang. Hingga akhirnya membuka cabang di Tegal. Alhamdulillah, sekarang pelanggan makin banyak, dari warga sekitar hingga wisatawan,” ujarnya.
Yuni mengaku bahwa kunci utama menjaga pelanggan adalah kualitas bahan baku. Baginya, pempek yang enak hanya bisa dibuat dengan ikan segar.
“Saya menggunakan ikan tenggiri yang baru ditangkap, bukan ikan yang sudah disimpan lama. Kuah cuko juga saya buat setiap pagi supaya rasanya tetap segar. Banyak pembeli bilang, ‘Bu, cukonya bikin nagih.’ Itu yang membuat saya semangat,” ujarnya.
Tak heran, lapak kecil miliknya tidak pernah sepi pengunjung. Pada jam makan siang, antrean mengular hingga ke trotoar. Pempek menjadi makanan favorit karena harganya yang terjangkau, mulai dari Rp 5.000 per biji. Ada juga paket lengkap pempek kapal selam dengan tambahan lenjer tiga dan timun segar seharga Rp 25.000.
“Macam-macam, Mbak. Tapi ada juga karyawan, bahkan keluarga yang khusus datang ke sini. Kadang ada wisatawan luar kota yang penasaran mencoba pempek kami. Mereka bilang rasanya tidak kalah dengan yang di Palembang,” tambahnya.
Bagi Yuni, berjualan pempek bukan hanya soal mencari untung, tetapi juga menjaga warisan kuliner daerah. Ia bangga bisa memperkenalkan cita rasa Palembang kepada masyarakat Jawa Tengah.
“Insya Allah, saya ingin membuka cabang lagi. Tapi yang utama, saya ingin tetap menjaga rasa asli pempek Palembang. Jangan sampai hilang karena mengejar keuntungan,” ujarnya.
Cerita Yuni hanyalah satu dari sekian banyak kisah pedagang pempek di berbagai daerah di Indonesia. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa kuliner tradisional tetap memiliki tempat istimewa di tengah maraknya makanan cepat saji modern.
Pempek bukan sekadar makanan ringan, melainkan simbol keragaman dan kekayaan budaya Nusantara. Dengan semangat para pedagang seperti Yuni yang menjaga keaslian rasa, pempek diyakini akan terus bertahan dan bahkan semakin populer di kalangan generasi muda.
Editor : Mubdiatur Rohmatika