Purwokerto, —Ketekunan, kedisiplinan, dan kepekaan artistik menjadi fondasi kuat bagi Wahyu Krismanto, S.Arc., arsitek muda lulusan Fakultas Teknik Universitas Wijayakusuma Purwokerto (Unwiku) tahun 2022. Hanya sepekan setelah diwisuda, ia langsung bergabung dengan CV Furintraco Design, perusahaan yang bergerak di bidang perancangan arsitektur dan interior.
Minat Wahyu terhadap arsitektur sudah tumbuh sejak masa SMA ketika ia menempuh pendidikan di jurusan Teknik Gambar Bangunan di Lampung. Pengalaman tersebut membuatnya terbiasa berpikir sistematis sekaligus kreatif dalam menuangkan gagasan ke dalam bentuk visual. “Sejak SMA saya sudah suka menggambar bangunan. Dari situ saya merasa bidang ini cocok dengan minat saya, apalagi orang tua juga mendukung penuh,” kenangnya.
Selama kuliah di Unwiku, Wahyu tak hanya mengasah kemampuan teknis, tetapi juga memperluas pandangannya terhadap relasi antara ruang, manusia, dan budaya. Ia menilai arsitektur bukan sekadar urusan struktur fisik, tetapi juga bentuk ekspresi artistik yang menciptakan kenyamanan dan identitas. “Desain itu bukan hanya soal bentuk, tapi bagaimana bangunan bisa menghadirkan kenyamanan dan karakter bagi penggunanya,” ujarnya.
Dalam setiap proyek, Wahyu berupaya menyeimbangkan aspek teknis, estetika, dan kebutuhan pengguna. Ia menyadari bahwa setiap klien memiliki latar belakang dan kepercayaan yang beragam, termasuk nilai-nilai adat yang masih dijunjung tinggi dalam menentukan arah bangunan atau pembagian ruang. “Setiap klien punya keyakinan berbeda. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa menyesuaikan tanpa mengabaikan fungsi dan keindahan,” jelasnya.

Kemampuannya dalam mengoperasikan perangkat desain 3D menjadi keunggulan tersendiri. Bagi Wahyu, penguasaan teknologi visualisasi sangat penting untuk menjembatani komunikasi antara arsitek dan klien. “Sekarang semua serba digital. Desain dua dimensi hanyalah langkah awal sebelum masuk ke 3D yang lebih konkret dan bisa dipresentasikan secara visual,” tuturnya.
Namun, ia menegaskan bahwa profesionalitas tidak hanya diukur dari kecanggihan teknologi, melainkan juga dari etika kerja dan tanggung jawab moral. Setiap rancangan yang dibuat, menurutnya, harus bisa dipertanggungjawabkan baik secara fungsi, keamanan, maupun nilai sosial. “Kita bukan hanya membuat gambar bangunan, tapi juga membangun kepercayaan. Setiap karya harus bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Menghadapi perkembangan arsitektur yang kian dinamis, Wahyu terus berupaya memperbarui pengetahuan dan kemampuan. Ia aktif berdiskusi dengan rekan seprofesi untuk saling bertukar ide dan memperluas wawasan. Baginya, inovasi sejati tidak semata lahir dari teknologi baru, melainkan dari pola pikir yang terbuka dan kolaboratif. “Sesama arsitek sering berbagi pengalaman proyek. Dari situ sering muncul ide yang tidak terpikirkan sebelumnya,” ujarnya.
Pengalaman di dunia kerja juga menjadi pelajaran berharga. Wahyu tidak menampik bahwa kritik dan koreksi adalah bagian dari proses menuju profesionalitas. Ia menganggap setiap masukan sebagai kesempatan untuk memahami karakter desain dan cara komunikasi yang lebih efektif dengan klien. “Setiap koreksi adalah kesempatan untuk berkembang,” katanya sambil tersenyum.
Menutup perbincangan, Wahyu berpesan agar berani meniti karier dengan kejujuran dan konsistensi. “Reputasi itu tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari kepercayaan dan kesungguhan dalam bekerja. Jangan takut salah, jangan takut dikritik karena dari situlah kita belajar menjadi arsitek yang sesungguhnya,” pungkasnya.
Editor: Luthfi Fadhilah