Puwokerto – Meski Indonesia memiliki banyak peraturan dan undang-undang yang kuat, pelaksanaan hukum di lapangan masih dinilai lemah dan belum sepenuhnya berpihak pada keadilan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Sugeng Riyadi, S.H., M.H., seorang dosen hukum dari Universitas Jenderal Soedirman dan juga berprofesi sebagai pengacara. Menurutnya, permasalahan utama hukum di Indonesia bukan terletak pada teks undang-undang, melainkan pada pelaksanaannya. “Hukum kita sudah kuat secara normatif, tetapi penerapan di lapangan sering kali tidak konsisten dan mengabaikan nilai keadilan,” ujarnya.
Dr. Sugeng menjelaskan bahwa integritas aparat hukum menjadi faktor penting yang menentukan kualitas penegakan hukum. Ia menilai masih banyak aparat yang belum menjunjung tinggi etika profesi, bahkan terpengaruh oleh kepentingan politik dan ekonomi. “Keadilan seharusnya menjadi milik semua orang, bukan hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau uang. Tapi faktanya, masyarakat kecil masih sulit mengakses layanan hukum yang adil,” tambahnya. Fenomena ini semakin diperparah dengan tumpang tindihnya regulasi dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat.
Dalam konteks waktu, Dr. Sugeng menyoroti bahwa tantangan hukum di era modern semakin berat, terutama sejak lima tahun terakhir. Peningkatan kasus korupsi, kejahatan digital, dan kriminalitas terorganisasi menjadi ujian serius bagi sistem hukum nasional. Ia menegaskan bahwa aparat penegak hukum harus adaptif terhadap perkembangan teknologi. “Kejahatan kini banyak terjadi di dunia maya. Aparat harus memahami dunia digital agar tidak tertinggal,” tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa akar permasalahan penegakan hukum yang lemah sebenarnya berawal dari pendidikan hukum yang kurang menekankan aspek moral dan nurani. “Hukum bukan sekadar pasal, tapi juga hati nurani. Kita perlu melahirkan generasi penegak hukum yang berkarakter, bukan hanya yang pandai membaca undang-undang,” katanya.
Untuk memperbaikinya, ia mengusulkan beberapa langkah konkret, seperti memperketat rekrutmen aparat hukum dengan penilaian karakter, memperkuat pelatihan berbasis teknologi, menyediakan layanan hukum pro bono bagi masyarakat miskin, serta melibatkan lembaga pengawas independen untuk menjamin transparansi.
Meski banyak tantangan, Dr. Sugeng tetap optimistis terhadap masa depan hukum Indonesia. Ia melihat potensi besar dalam diri generasi muda yang semakin sadar akan pentingnya keadilan. “Saya melihat mahasiswa hukum sekarang lebih berani, kritis, dan tidak mudah dibungkam. Itu pertanda baik bagi masa depan hukum kita,” ujarnya menutup wawancara. Ia menambahkan pesan yang kuat, “Tanpa integritas aparat dan partisipasi masyarakat, hukum yang kuat di atas kertas hanya akan menjadi ilusi.”
Editor: Pinalia Jelita Cahyowati