Epigrafi: Kunci Terbukanya Sejarah Masa Lampau 

Purwokerto – Di balik setiap goresan yang tertuang pada prasasti, tersimpan sejarah yang menunggu untuk diungkap. Puluhan bahkan ratusan tahun berlalu, sejarah yang tertuang dalam prasasti dapat terungkap dengan satu kunci yaitu epigrafi. Epigrafi merupakan ilmu yang masuk dalam rumpun ilmu arkeologi yang mempelajari peninggalan-peninggalan berbasis data kontekstual, khususnya prasasti. 

Dalam praktiknya, epigrafi berkaitan erat dengan ilmu lain, seperti paleografi dan arkeologi. Paleografi meneliti bentuk aksara kuno yang tertulis pada artefak, sedangkan epigrafi menelaah isi, kebenaran, serta objektivitas dari prasasti tersebut. 

Sebagai contoh, yaitu Prasasti Siwagrha. Prasasti ini diterbitkan pada masa pemerintahan Raja Rakai Kayuwangi. Dalam teks tersebut disebutkan bahwa terdapat bangunan suci yang bernama Siwagrha, yang ternyata adalah nama kuno bagi Candi Prambanan yang terletak di Jawa Tengah. 

“Hal ini membuktikan bahwa data arkeologi dan data epigrafi saling berkait serta saling mendukung satu sama lain,” ujar Lutfi. 

Kedudukan epigrafi sangat krusial dalam kajian sejarah, terutama untuk segmen tulisan yang meliputi pengalihaksaraan, pengalihbahasaan, dan penyusunan dalam bentuk narasi historiografi. 

Tahapan pengkajian epigrafi diawali dengan pembacaan prasasti, kemudian dilanjutkan dengan pengalihaksaraan, pengalihbahasaan, serta analisis penafsiran sebelum akhirnya disajikan secara komprehensif. Durasi pengkajian sebuah prasasti melalui epigrafi ini sangat bergantung pada kondisi prasasti tersebut. 

“Kalau aksaranya masih bagus, bisa selesai dalam hitungan jam atau hari,” ujar Lutfi. 

Meski demikian, bidang ini juga memiliki tantangan tersendiri, terutama jika prasasti sudah aus, aksaranya rusak, atau terdapat bagian yang hilang. Hal-hal semacam itu kerap menyulitkan proses pembacaan dan penafsiran pada isi prasasti. 

Lutfi menyampaikan bahwa seyogianya bidang epigrafi ini ditanggapi secara positif oleh generasi muda. 

“Siapa lagi yang bisa mewarisi pengetahuan yang diwariskan oleh leluhur kita? Hingga saat ini, data epigrafi justru banyak menarik perhatian peneliti luar negeri,” ujarnya. 

Walaupun tidak mudah karena membutuhkan ketekunan dalam membaca dan menafsirkan data, kepedulian serta kecintaan terhadap warisan leluhur menjadi kunci utama.

“Mau tidak mau, kita harus punya kepedulian dan kecintaan pada data epigrafi agar warisan leluhur dapat dipelajari dan dimanfaatkan untuk masa kini dan masa mendatang,” pungkas Luthfi.

Editor: Anggita Amalia Anggraeni

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *