Purwokerto – Karya sastra bukan sekadar bentuk ekspresi estetika, tetapi juga cerminan kompleksitas budaya dan identitas manusia. Hal ini disampaikan oleh Shofi Mahmudah Budi Utami, dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), yang kini tengah menempuh studi doktoral di Amerika Serikat. Melalui penelitian dan pengamatannya, ia menyoroti bagaimana sastra dunia menjadi ruang refleksi terhadap isu identitas, budaya, dan sejarah sosial.
Menurut Shofi, fokus kajiannya saat ini adalah sastra bandingan—sebuah pendekatan yang meneliti karya sastra lintas negara, era, dan budaya. “Sastra bandingan memungkinkan kita melihat bagaimana karya dari berbagai latar belakang budaya saling berinteraksi, termasuk karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa banyak karya yang ditelitinya mengandung kritik terhadap kolonialisme dan neokolonialisme, yang erat kaitannya dengan isu identitas dan budaya poskolonial.
Dalam pandangannya, setiap karya sastra merefleksikan latar sosial dan identitas penulisnya. “Latar belakang penulis, pengalaman, dan pandangan hidup mereka selalu membentuk warna dalam karya yang ditulis,” jelas Shofi. Ia mencontohkan bagaimana novel asal Yugoslavia yang pernah dibacanya menggambarkan kebingungan identitas akibat perubahan sejarah dan penyatuan dua budaya berbeda.
Lebih jauh, Shofi menjelaskan bahwa karya sastra tidak hanya mencerminkan identitas budaya, tetapi juga dapat membentuknya. Pembaca yang mengonsumsi karya sastra tertentu bisa terpengaruh oleh ideologi atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. “Identitas itu konstruktif; ia dibentuk oleh pengalaman, lingkungan, dan juga konsumsi bacaan,” tuturnya.
Pengalaman studi di Amerika juga memberi pengaruh besar terhadap cara Shofi memandang sastra lintas budaya. Ia mengaku kini lebih banyak terekspos pada sastra dunia dari berbagai negara yang sebelumnya tidak ia kenal, seperti karya dari Slovenia, Polandia, Jerman, dan Afrika. “Paparan terhadap keberagaman karya ini memperkaya cara pandang saya terhadap sastra dan budaya,” ujarnya.

Sumber foto: Dokumentasi pribadi Shofi Mahmudah Budi Utami
Meski demikian, Shofi menegaskan bahwa seorang peneliti sastra harus mampu menjaga objektivitas dalam penelitiannya. “Kita harus memegang landasan teori yang kuat agar argumen yang disampaikan bisa diuji secara ilmiah. Peneliti tidak boleh memaksakan pandangan pribadi, apalagi jika konteks budayanya berbeda,” jelasnya.
Shofi juga menilai bahwa perubahan sosial dan sejarah suatu bangsa sangat memengaruhi cara sastra menampilkan identitas budaya. Karya sastra, katanya, tidak lahir dari ruang kosong, melainkan menjadi refleksi masyarakat dan zamannya. Ia mencontohkan karya sastra dari Yugoslavia yang merekam perubahan sejarah bangsa dan kebingungan identitas masyarakatnya.
Dalam konteks pendidikan, Shofi menekankan pentingnya kajian sastra sebagai sarana menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Ia menilai bahwa paparan terhadap karya dari berbagai latar belakang budaya dapat memperluas cara pandang mahasiswa dan membangun sikap kritis. “Kalau kita hanya membaca satu jenis karya, cara pandang kita akan sempit. Tapi dengan keberagaman karya, kita belajar banyak nilai dan menjadi lebih terbuka,” tuturnya.
Berbicara tentang minat generasi muda terhadap sastra, Shofi mengakui bahwa tantangan utama di Indonesia adalah rendahnya minat baca. Ia membandingkan dengan negara-negara Barat di mana membaca karya sastra menjadi bagian dari hiburan dan budaya hidup. “Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan dasar masih menjadi prioritas, sehingga membaca belum dianggap kebutuhan penting,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa memperkenalkan karya sastra sejak dini sangat penting agar minat baca dan apresiasi terhadap sastra bisa tumbuh secara alami.
Sebagai penutup, Shofi berharap agar kajian sastra dan penelitian budaya di Indonesia tidak berhenti pada tataran akademis saja. Ia ingin penelitian sastra dapat memberi dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam membangun cara berpikir kritis dan menghargai keberagaman. “Kalau karya sastra bisa mengubah cara pandang satu orang saja, itu sudah dampak besar. Tapi kalau bisa mengubah banyak orang, itu akan menjadi kekuatan luar biasa bagi kemajuan bangsa,” pungkasnya.
Editor: Windi Srimulyati