
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Purwokerto – Babad yang kita ketahui adalah karya sastra yang mendokumentasikan sejarah dan perkembangan budaya. Namun, bukan hal yang mudah untuk menerjemahkan babad. Nasirun, seorang penerjemah babad mengemukakan kepeduliannya terhadap nashkah-naskah kuno berbahasa Jawa, terutama di Banyumas dan sekitar Serayu.
Dalam 6 tahun terakhir, ia mengeluarkan kurang lebih 100 buku dan puluhan naskah babad terjemahan babad ke dalam bahasa Indonesia. Di ruang kerjanya yang sederhana, tumpukan naskah tua, kamus Jawa Kuno, serta buku sejarah menjadi saksi ketekunannya. Setiap hari, Nasirun memulai pekerjaannya sejak dini hari hingga larut malam, menelusuri baris demi baris tulisan tangan yang telah memudar dimakan usia.
“Menerjemahkan babad bukan hanya soal mengalihkan bahasa,” ujarnya perlahan. “Tapi untuk merawat dan menjaga, menjadi jembatan antara waktu silam dan waktu sekarang.”
Perjuangan dalam Sunyi
Tantangan terbesar dalam pekerjaannya bukan hanya bahasa yang tua dan sulit dipahami, tetapi juga kondisi naskah yang rapuh. Banyak di antara babad yang ia temukan sudah rusak, sobek, bahkan sebagian hurufnya tidak bisa terbaca.
Nasirun sering harus membandingkan beberapa versi naskah untuk menemukan padanan kata yang paling mendekati makna aslinya. Sering kali bahasa yang ditemukan dalam babad sudah tidak pernah dituturkan lagi.
“Saya harus keliling. Ke Kebumen, Purbalingga, Cilacap, ya untuk melengkapi naskah. Bertahun-tahun baru bisa ditulis. Bahkan menelusuri samp ke makam, ngobrol dengan kuncen,” ungkapnya.
Proses penerjemahan satu babad bisa memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Selain ketelitian linguistik, Nasirun juga harus berhadapan dengan tantangan emosional—rasa sepi, kelelahan, dan minimnya perhatian publik terhadap karya-karya klasik. Ditambah sikap apatis pemerintah yang sama sekali tidak melirik usahanya.
Untuk melangsungkan hidup, Nasirun berusaha dengan berjualan buku dan menjalani bisnis mandiri. Namun, semua itu tidak membuatnya surut.
“Saya percaya bahwa setiap huruf yang saya baca adalah jembatan menuju masa lalu. Kalau bukan kita yang menerjemahkan dan melestarikan, siapa lagi?” katanya.

(Sumber: dok.Kumparan)
Makna di Balik Babad
Bagi Nasirun, babad bukan sekadar catatan sejarah, melainkan refleksi moral, spiritual, dan sosial masyarakat masa lalu. Di dalamnya tersimpan ajaran tentang kepemimpinan, kesetiaan, perjuangan, hingga nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Saat ini ia tengah menulis Babad Diponegoro, diantara yang pernah ia selesaikan adalan Babad Banyumas Mertadirejan, Wiryaatmadjan, Danuredjan, Dipayudan dan sebagainya. Nasirun percaya bahwa masih ada banyak yang perlu diselesaikan agar anak cucu kitab bisa membacanya.
“Kenapa tidak ditulis dalam bahasa Jawa? Karena saya ingin yang membaca babad bukan hanya orang Jawa, tapi seluruh kalangan,” ujarnya.
Harapan untuk Generasi Penulis Muda
Meski usianya kini tak lagi muda, semangat Nasirun untuk berbagi ilmu tidak pernah pudar. Ia sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar budaya dan literasi. Dalam setiap kesempatan, ia selalu berpesan agar generasi muda tidak melupakan akar bahasanya sendiri.
“Saya ingin, anak muda sekarang yang pintar menulis, harus berpikir bahwa kalo ada sesuatu yang ingin dibaca, tapi tidak ada, maka tulislah apa yang mau kamu baca itu,” tuturnya.
Ia juga berharap pemerintah dan lembaga pendidikan memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian naskah kuno dan karya terjemahan. Menurutnya, babad tidak hanya penting bagi ilmu sejarah, tetapi juga untuk pengembangan karakter bangsa.
“Kalau kita mengenal masa lalu, kita tidak mudah tercerabut dari akar. Saya berharap para penulis muda berani melanjutkan perjuangan ini—menulis dengan kesadaran budaya, menerjemahkan dengan hati,” tutup Nasirun penuh harap.
Menjaga Warisan, Membangun Masa Depan
Melalui tangan-tangan sabarnya, babad yang nyaris terlupakan kini bisa dibaca oleh masyarakat luas. Nasirun menunjukkan bahwa kesetiaan pada budaya adalah bentuk perjuangan yang tidak kalah heroik. Lewat kerja sunyinya, ia membuktikan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana menjaga ingatan kolektif bangsa agar tidak pudar ditelan waktu.