PURWOKERTO – Di antara ragam kesenian tradisional Jawa, Jamjaneng menjadi salah satu warisan unik yang memadukan unsur seni, budaya, dan dakwah Islam. Kesenian ini lahir dari perpaduan spiritualitas dan ekspresi sosial masyarakat Kebumen yang berlangsung sejak dua abad lalu, dan hingga kini masih terus dipentaskan di berbagai desa di Jawa Tengah.
Jamjaneng diyakini bermula pada abad ke-19, diperkenalkan oleh Kyai Zamzani di Desa Mrentul, Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen. Awalnya, Jamjaneng digunakan sebagai media dakwah Islam melalui syair shalawat yang dibawakan bersama tabuhan rebana, kendang, dan alat musik tradisional lainnya. Dari kegiatan dakwah sederhana inilah, Jamjaneng berkembang menjadi pertunjukan kolosal yang tidak hanya menampilkan seni musik, tetapi juga menyampaikan pesan moral, nilai kebersamaan, dan semangat religius masyarakat.
“Jamjaneng merupakan ekspresi budaya Islam-Jawa yang unik, karena memadukan nilai dakwah dan hiburan dalam satu kesatuan yang harmonis,” ujar M. Shifa Akmalul Huda, peneliti sejarah budaya di Kebumen. Dalam penelitiannya, ia menjelaskan bahwa Jamjaneng menyebar ke berbagai wilayah sekitar Kebumen, seperti Prembun, Sruweng, dan Karanganyar, seiring dengan peran pesantren dan kelompok masyarakat yang melestarikannya dari generasi ke generasi.
Setiap pertunjukan Jamjaneng biasanya dimainkan oleh puluhan pemain, terdiri atas pembaca shalawat, penabuh rebana, dan penari yang bergerak ritmis mengikuti irama. Dalam beberapa kelompok, jumlah pemain bisa mencapai seratus orang, menjadikan penampilan Jamjaneng bukan hanya hiburan, tetapi juga sebagai ritual sosial yang memperkuat solidaritas warga. “Kami tetap berlatih selapanan, menjaga agar anak-anak muda ikut tampil dan mengenal makna dari setiap syairnya,” tutur Kaki Suwandi, ketua grup Jamjaneng Langen Sari di Kebumen.
Meski demikian, perkembangan zaman membawa tantangan tersendiri. Pergeseran selera hiburan masyarakat dan dominasi budaya populer membuat sebagian generasi muda kurang mengenal tradisi ini. Namun, berbagai upaya pelestarian terus dilakukan, mulai dari festival daerah, pelatihan komunitas, hingga penetapan Jamjaneng sebagai Warisan Budaya Takbenda Provinsi Jawa Tengah.
“Pelestarian Jamjaneng bukan sekadar mempertahankan bentuk pertunjukan, tetapi juga menjaga nilai spiritual dan sosial di dalamnya,” kata Sadimin, tokoh masyarakat sekaligus pelaku seni di Kebumen. Ia menegaskan bahwa tanpa dukungan pemerintah dan keterlibatan generasi muda, Jamjaneng perlahan bisa hilang dari kehidupan masyarakat.
Kini, Jamjaneng tak lagi sekadar warisan masa lalu, melainkan simbol keterpaduan antara iman, seni, dan budaya. Ia mengajarkan bahwa dakwah tak selalu disampaikan lewat mimbar, tetapi juga melalui harmoni rebana, lantunan shalawat, dan gerak tubuh yang berpadu indah, sebuah cermin betapa budaya lokal bisa menjadi jalan untuk menjaga nilai, sejarah, dan jati diri bangsa.
Editor: Khanifah Zulfi
