Foto: dokumen pribadi
Setiap kali dosen memberi tugas dengan tenggat waktu satu minggu, kebanyakan mahasiswa akan berpikir, “Santai, masih lama.” Namun, anehnya, justru dua hari atau mungkin beberapa jam sebelum deadline, semua ide, tenaga, dan semangat tiba-tiba muncul. Fenomena ini begitu akrab di kalangan mahasiswa hingga menjadi semacam “budaya tidak tertulis” di dunia perkuliahan.
Budaya deadline sering dianggap kebiasaan buruk yang mencerminkan kurangnya manajemen waktu. Mahasiswa lebih memilih menunda karena merasa waktu masih panjang, padahal tumpukan tugas bisa datang bersamaan. Akibatnya, begadang, stres, bahkan saling berbagi contekan menjadi hal yang lumrah menjelang tenggat pengumpulan tugas.
Selain faktor kebiasaan individu, lingkungan juga berperan besar dalam membentuk budaya deadline ini. Ketika satu teman mulai mengerjakan tugas mendekati deadline, teman lain sering ikut meniru. Suasana kelas atau kelompok belajar yang santai dan tidak disiplin waktu ikut memperkuat kebiasaan menunda. Kebiasaan ini lama-kelamaan dianggap hal yang wajar, padahal lingkungan yang terbiasa menunda justru ikut menularkan pola perilaku serupa. Akibatnya, budaya deadline terus berkembang dan menjadi bagian dari dinamika kehidupan kampus setiap semester.
Menurut artikel di Suara USU berjudul “Budaya Menunda Tugas ‘Deadline Culture’ dan Kaitannya dengan Disiplin Akademik Mahasiswa”, kebiasaan menunda ini sering muncul karena faktor kenyamanan lingkungan dan kurangnya kesadaran disiplin waktu di kalangan mahasiswa. Ketika suasana sekitar membiarkan perilaku tersebut terus terjadi, mahasiswa cenderung menormalisasi penundaan tugas sebagai hal yang biasa, bukan sebagai masalah kedisiplinan.
Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa tekanan deadline justru bisa memunculkan kreativitas. Banyak mahasiswa mengaku lebih fokus dan produktif ketika dikejar waktu. Tekanan adrenalin yang membuat ide mengalir lebih cepat sehingga hasil kerja kadang terkadang lebih maksimal. Inilah paradoks mahasiswa: mengeluh karena dikejar tugas, tapi sulit bekerja tanpa tekanan waktu.
Meski begitu, budaya ini seharusnya tidak terus dipertahankan. Deadline memang bisa memotivasi, tapi juga bisa menguras energi dan menurunkan kualitas hasil jika dilakukan terus-menerus. Mahasiswa perlu belajar menata waktu, membagi beban tugas, dan menyadari bahwa produktivitas tidak harus muncul di bawah tekanan.
Menjadi mahasiswa berarti belajar bertanggung jawab, bukan hanya terhadap nilai, tapi juga terhadap cara mengelola diri. Budaya deadline mungkin terasa akrab. Namun, kebiasaan menyiapkan diri lebih awal akan jauh lebih menenangkan dan memberi karya yang lebih baik.
Editor: Indri Kumala
