“Tenang, masih tiga jam lagi sebelum deadline.” Kalimat itu sudah menjadi bagian dari keseharian mahasiswa. Di ruang kos, halaman kampus, hingga ruang kelas, pemandangan mahasiswa mengetik terburu-buru menjelang pengumpulan tugas bukan hal yang asing. Fenomena ini dikenal dengan sebutan deadline warriors, mahasiswa yang baru benar-benar produktif ketika waktu hampir habis.
Fenomena tersebut terlihat luas di berbagai kampus di Indonesia. Unggahan di media sosial memperlihatkan mahasiswa bergadang dengan tumpukan tugas, ditemani kopi, dan rasa panik menjelang tenggat waktu. Beberapa survei kecil juga menunjukkan pola yang sama: sebagian besar mahasiswa mengaku kerap menunda tugas hingga mendekati batas waktu pengumpulan.
Budaya ini muncul karena berbagai faktor. Jadwal kuliah yang padat, sistem penugasan yang sering berimpitan, serta kemampuan manajemen waktu yang kurang baik menjadi penyebab utamanya. Selain itu, tekanan akademik dan tuntutan untuk selalu produktif mendorong sebagian mahasiswa merasa lebih ‘terpacu’ ketika bekerja dalam waktu sempit.
Dampaknya tidak ringan. Banyak mahasiswa mengalami stres, kelelahan, dan kehilangan semangat belajar. Beberapa mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) mengaku bahwa hampir setiap minggu begadang untuk menyelesaikan tugas karena tidak sempat mencicil. “Rasanya sudah jadi kebiasaan. Kalau ngga mepet deadline ngga bisa mulai menegerjakan. Harus kena pressure dulu,” ujarnya.
Ironisnya, budaya seperti ini justru sering dianggap wajar, bahkan dijadikan simbol ketangguhan mahasiswa. Padahal, pola tersebut menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam cara mahasiswa dan sistem akademik memaknai produktivitas. Lama-kelamaan, mahasiswa lebih sibuk mengejar tenggat daripada memahami substansi pembelajaran.
Mahasiswa perlu mulai mengubah cara pandang terhadap budaya ini. Menjadi deadline warrior bukan tanda kuat, melainkan bukti bahwa sistem belajar dan kebiasaan akademik masih menormalisasi tekanan berlebihan. Produktivitas sejati lahir dari kemampuan mengatur waktu dan menjaga keseimbangan diri, bukan dari keberanian menantang tenggat.
Editor: Fitria Anggi Haryani
