Tasikmalaya – Merantau demi pendidikan tinggi sering kali berarti meninggalkan kenyamanan rumah untuk menghadapi tantangan kemandirian. Bagi mahasiswa Poltekkes di Tasikmalaya, tantangan itu bukan hanya seputar mengurus diri sendiri, tetapi juga menghadapi padatnya tugas akademik.
Hal ini diungkapkan oleh S. L., seorang mahasiswa di Poltekkes Tasikmalaya yang berbagi pengalamannya sebagai anak rantau. Perbedaan antara kehidupan di rumah dan kamar kos terasa sejak awal.
“Perbedaan yang paling terasa itu suasana. Kalau di rumah ramai, dan saya punya adik jadi bisa bermain. Kalau di kos harus memikirkan mau beli makanan apa, berbeda dengan di rumah yang hanya tinggal makan,” ujar S. L.
Suasana yang sepi di kos membuat S. L. harus menghadapi tantangan baru. Sering kali, ia merasa kesepian dan bingung mencari kegiatan saat senggang. “Kalau di kos itu bingung mau ngapain, sehingga akhirnya hanya bermain ponsel,” tambahnya.
Rasa homesick atau rindu rumah terasa bagi S. L. saat hari libur, apalagi jika liburnya lama. Momen santai yang seharusnya menjadi jeda justru menjadi pengingat akan suasana kebersamaan di rumah.
Menariknya, S. L. berpendapat bahwa banyaknya tugas kuliah di bidang kesehatan yang terkenal padat dan menuntut ketelitian tinggi, justru tidak berhubungan dengan rasa kangennya, melainkan memengaruhi waktu untuk memikirkannya.
“Menurut saya, tidak ada hubungannya (tugas dengan rasa homesick). Tetapi kalau banyak tugas pasti lelah, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan pulang,” jelas S. L.
Intinya, kesibukan akademik yang luar biasa padat, dengan fokus pada tugas dan deadline, secara tidak langsung membuat mahasiswa lupa rumah karena energi dan pikiran terkuras habis. Saat homesick melanda dan kebetulan ada waktu luang, satu-satunya cara jitu yang ia lakukan untuk mengobati kerinduan adalah dengan pulang ke rumah.
Untuk mahasiswa yang baru merantau, S. L. memberikan pesan penyemangat dan tips sederhana. “Semangat ya! Awal-awal pasti berat, tetapi jangan khawatir, semua orang juga merasakannya. Tipsnya, jalanin seperti hari-hari biasa, jangan terlalu dipikirin. Awal-awal pasti mengeluh tetapi tetap saja harus dikerjakan, bukan?”
Di akhir wawancara, S. L. juga menyampaikan pesan positif untuk dirinya yang sekarang, menunjukkan adanya pertumbuhan diri selama masa perantauan. “Terimakasih karena telah berubah menjadi orang yang lebih percaya diri, berani berbaur dengan orang lain, dan saya menyukai diri saya yang sekarang. Ke depannya, semoga bisa menjadi pribadi yang baik lagi,” tutupnya.
Editor: Yasfika Afilia
