
Arga Pratista Naomi, mahasiswa Pendidikan Jasmani angkatan 2022 Universitas Jenderal Soedirman, berbagi tentang adaptasi mahasiswa di era AI. (Dok. Pribadi)
Purwokerto — Perkembangan teknologi kecerdasan buatan, atau Artificial Intelligence (AI), kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Dari membantu menulis tugas hingga mendesain presentasi, AI telah mengubah cara belajar sekaligus cara bekerja di dunia akademik. Namun di balik berbagai kemudahan itu, muncul pertanyaan penting: haruskah mahasiswa takut pada AI, atau justru belajar beradaptasi?
Arga Pratista Naomi, mahasiswa semester 7 Universitas Jenderal Soedirman, mengungkapkan bahwa era AI merupakan masa ketika teknologi kecerdasan buatan digunakan secara luas dalam kehidupan mahasiswa. “AI bukan sekadar tren, tetapi sudah menjadi bagian dari cara belajar generasi sekarang,” ujarnya saat ditemui dalam sesi wawancara.
Menurut Arga, mahasiswa kini sering memanfaatkan berbagai teknologi berbasis AI seperti ChatGPT untuk memahami materi kuliah, Grammarly untuk memeriksa ejaan dan tata bahasa, Canva AI untuk membuat desain, serta Copilot dan Perplexity sebagai alat bantu riset. “Semua itu menjadi alat bantu yang memudahkan aktivitas kampus,” jelasnya.
Dari sisi positif, kehadiran AI membawa dampak yang signifikan. Mahasiswa dapat belajar lebih efisien, memahami materi sulit dengan bantuan penjelasan cepat, serta menemukan ide-ide kreatif yang mungkin tidak terpikir sebelumnya.
Namun, Arga mengingatkan bahwa kemudahan tersebut juga memiliki sisi gelap. “Risikonya, mahasiswa dapat menjadi terlalu bergantung dan kehilangan kemampuan berpikir kritis. Apabila digunakan tanpa bijak, AI bisa membuat mahasiswa kehilangan orisinalitas dan kejujuran akademik,” tegasnya.
Ia menuturkan bahwa perubahan besar akibat kehadiran AI mulai terasa sejak tahun 2023, ketika ChatGPT dan berbagai tools serupa mulai populer di kalangan mahasiswa. Sejak saat itu, banyak kebiasaan dalam belajar dan mengerjakan tugas mengalami perubahan drastis. “Perkembangannya memang pesat, tetapi bukan berarti harus ditakuti,” ujar Arga.
Baginya, mahasiswa perlu bersikap adaptif terhadap kemajuan teknologi. “AI bukan sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi perlu dipelajari dan dimanfaatkan dengan bijak. Jika digunakan dengan benar, AI justru dapat meningkatkan kemampuan dan efisiensi belajar,” tuturnya.
Meski demikian, Arga menegaskan pentingnya menjaga kreativitas dan etika akademik di tengah maraknya penggunaan AI. “AI sebaiknya dijadikan alat bantu, bukan sumber utama. Mahasiswa tetap harus berpikir sendiri, menambah ide pribadi, dan tidak menyalin hasil dari AI mentah-mentah,” katanya.
Sebagai langkah sederhana, Arga menyarankan mahasiswa untuk menggunakan AI sebagai sarana eksplorasi ide dan latihan pemahaman, bukan jalan pintas menuju jawaban akhir. “Batas sehatnya adalah saat AI digunakan hanya untuk membantu memahami dan memperkaya ide, bukan menggantikan seluruh proses berpikir,” tambahnya.
Di akhir wawancara, Arga menegaskan bahwa AI dapat menjadi sarana belajar yang efektif jika digunakan dengan bijak. “Hal itu bergantung pada cara penggunaannya. Jika hanya mengandalkan hasil AI tanpa memahami isinya, tentu membuat malas. Namun, jika digunakan untuk menganalisis, AI justru melatih kita berpikir lebih kritis,” ujarnya menutup pembicaraan.
Kehadiran AI seharusnya tidak membuat mahasiswa kehilangan semangat belajar, melainkan menantang mereka untuk lebih kreatif, kritis, dan bertanggung jawab. Adaptasi menjadi kunci agar generasi muda mampu berjalan seiring dengan kemajuan teknologi tanpa kehilangan integritas dan jati diri akademiknya.
Editor: Hasna Dwi Artika
