Minat Membaca Siswa Menurun, Guru Bahasa SMPN 3 Kesugihan Dituntut Lebih Kreatif di Era Digital

Purwokerto Fenomena menurunnya minat membaca di kalangan siswa kini menjadi perhatian serius para pendidik, terutama guru bahasa. Salah satu guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Kesugihan, Cilacap, mengungkapkan bahwa kondisi minat membaca siswa saat ini terbilang cukup, namun mengalami penurunan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

“Anak-anak sekarang cenderung malas membaca. Kecenderungan ini mulai terlihat sejak masa pandemi Covid-19,” ujarnya. Ia menambahkan, sejak pembelajaran daring, kebiasaan membaca buku mulai tergeser oleh aktivitas menggunakan gawai dan media sosial.

Fenomena ini sejalan dengan hasil survei UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya sekitar 0,001 persen, artinya hanya satu dari seribu orang yang gemar membaca. Selain itu, laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 juga menunjukkan kemampuan literasi siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Data tersebut memperkuat pandangan bahwa kebiasaan membaca di kalangan pelajar Indonesia masih menjadi tantangan serius yang perlu ditangani bersama.

Suasana Pembelajaran di Kelas ( Dokumentasi Pribadi Guru )

Guru tersebut juga menilai bahwa pengaruh media sosial dan teknologi digital terhadap kebiasaan membaca siswa sangat besar. “Di Sekolah, peran guru dan siswa sama pentingnya dalam menumbuhkan budaya membaca. Sementara di rumah, orang tua juga perlu mengawasi penggunaan gawai anak agar tidak berlebihan,” jelasnya.

Dalam situasi seperti ini, peran guru bahasa dianggap sangat penting. “Bahasa itu selalu identik dengan membaca dan menulis. Jadi, guru bahasa harus bisa menjadi motor penggerak agar siswa mau membaca kembali,” tambahnya.

Untuk mengatasi kebosanan siswa, ia berupaya menciptakan pembelajaran yang menarik dengan menggunakan berbagai media yang menarik dan ice breaking agar kegiatan membaca tidak terasa monoton. Namun, tantangan terbesar yang dihadapinya adalah sikap siswa yang lebih suka mengobrol daripada membaca.

Meski begitu, ia tetap optimistis. “Harapan saya, semoga antusiasme membaca bisa muncul kembali. Saat tanya jawab, minimal anak bisa memahami bacaan meskipun jawabannya belum sempurna,” tuturnya penuh harap.

Fenomena ini menjadi pengingat bahwa menumbuhkan kembali budaya membaca bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi juga hasil kerja sama antara sekolah, keluarga, dan lingkungan digital yang sehat agar generasi muda tidak kehilangan semangat literasinya di tengah arus teknologi.

Edit: Meilan Triwahyuni

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *