Kata “kalcer” kini populer di media sosial sebagai simbol gaya hidup anak muda. Berasal dari bahasa Inggris culture yang berarti budaya, istilah ini telah mengalami adaptasi menjadi bahasa gaul dengan makna yang lebih spesifik. Di kalangan Generasi Z, kalcer merujuk pada kelompok orang dengan gaya penampilan, kebiasaan, atau tren tertentu yang khas dan mudah dikenali. Fenomena ini menunjukkan bagaimana bahasa terus berkembang seiring perkembangan digital dan budaya anak muda.
Bahasa gaul anak muda di media sosial, terutama Twitter dan TikTok, lebih dari sekadar kumpulan kata dan frasa; istilah-istilah ini mencerminkan budaya, nilai, dan identitas generasi tersebut. Dalam konteks ini, kalcer bukan sekadar istilah biasa, melainkan representasi dari tren, kebiasaan, dan gaya hidup yang sedang populer.
Meskipun istilah ini sudah ada sejak 2016, popularitasnya mulai meningkat signifikan pada 2020 ke atas. Kemudahan akses informasi melalui media sosial membuat istilah ini cepat dipahami dan diadopsi oleh banyak anak muda. Kalcer pun menjadi semacam kode bahasa digital, yang hanya dipahami oleh mereka yang aktif mengikuti tren online.
Kalcer bisa merujuk pada berbagai hal, mulai dari fashion, musik, hingga gaya hidup yang sedang digandrungi. Anak-anak kalcer kerap dikenali lewat outfit yang nyentrik, sneakers yang lagi tren, aktivitas nongkrong di coffee shop estetik, hingga hobi unik yang membuat mereka berbeda dari kelompok lain. Fenomena ini tak sekadar soal mode, melainkan juga mencerminkan identitas sosial mereka di era digital.
Untuk melihat bagaimana anak muda memakai istilah ini, cukup perhatikan percakapan mereka di media sosial sehari-hari. Misalnya “Dengerin lagu-lagu indie dong, biar makin kalcer!” Ungkapan ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang film, musik, atau tren tertentu dianggap sebagai bagian dari status kalcer seseorang.
Selain itu, penggunaan istilah ini membantu generasi muda mengekspresikan identitas dan menandai kelompok sosial tertentu. Bahasa gaul seperti kalcer memungkinkan mereka menampilkan gaya, selera, dan kebiasaan secara kreatif, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan di komunitas digital.
Editor: Baruna Wahyudi Putri
