Cadel Bukan Kekurangan: Suara ‘R’ yang Hilang Justru Jadi Daya Tarik

Purwokerto Cadel, khususnya dalam mengucapkan huruf “R”, selama ini sering dianggap sebagai kekurangan dalam kemampuan berbicara. Banyak orang merasa malu, minder, bahkan enggan berbicara di depan umum karena suara “R” mereka terdengar berbeda, sering berubah menjadi “L” atau “W”. Padahal, cadel bukanlah sebuah penyakit melainkan perbedaan artikulasi yang disebut rhotacism, yaitu kondisi ketika seseorang kesulitan mengucapkan fonem /r/ karena faktor anatomi lidah, kebiasaan bicara, atau cara kerja organ mulut yang berbeda. Meski begitu, banyak orang cadel kini mulai tampil percaya diri dan justru menganggap cara bicaranya sebagai ciri khas.

Fenomena ini terlihat nyata di media sosial, di mana beberapa konten kreator cadel justru menjadi viral karena gaya bicara mereka unik dan mudah diingat. Mereka menunjukkan bahwa suara “R” yang hilang bukan hal yang perlu disembunyikan. Alih-alih ditertawakan, banyak warganet memberikan dukungan karena merasa bahwa keunikan itu membuat mereka lebih autentik dan menghibur. Perubahan pandangan masyarakat ini membuat cadel bergeser dari kekurangan menjadi karakteristik personal yang bernilai positif—bahkan bisa menjadi daya tarik publik.

Meskipun demikian, sebagian orang tetap memilih untuk memperbaiki pelafalan melalui terapi wicara. Terapis biasanya menggunakan latihan motorik oral, gerakan lidah, sampai tongue twister khusus untuk membantu melatih fonem /r/. Terapi ini terbukti membantu, terutama pada anak-anak, namun tetap bergantung pada kemauan individu. Ada pula yang tidak merasa perlu mengubahnya, karena cadel tidak mengganggu komunikasi dan telah diterima sebagai bagian dari identitas diri. Baik memilih memperbaiki maupun mempertahankan cadel, keduanya sama-sama valid sesuai kebutuhan masing-masing.

Sejumlah ahli bahasa dan terapis wicara menegaskan bahwa cadel bukan indikator kurang cerdas atau kurang terampil berbicara. Justru, dampak psikologis dari ejekan lingkungan jauh lebih merusak daripada cadel itu sendiri. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa cadel bukan sesuatu yang patut direndahkan, melainkan bagian dari keberagaman kemampuan berbicara manusia. Dukungan sosial—bukan ejekan—akan membuat orang cadel lebih percaya diri dan mampu mengekspresikan diri tanpa rasa takut.

Pada akhirnya, cadel “R” adalah persoalan perspektif. Bagi sebagian orang, ini mungkin sebuah tantangan yang ingin diatasi. Namun bagi banyak lainnya, cadel adalah warna dalam kepribadian mereka. Di tengah tren media sosial yang semakin menghargai keaslian, suara “R” yang hilang justru bisa menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Dengan pemahaman yang lebih inklusif, masyarakat dapat melihat bahwa setiap perbedaan dalam berbicara pun bisa menjadi daya tarik, bukan cacat. Cadel bukan akhir dari kepercayaan diri—justru bisa jadi awal dari keunikan yang disukai banyak orang.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *