Purwokerto — Kebiasaan men-scroll TikTok selama berjam-jam semakin mengkhawatirkan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Laporan We Are Social & Meltwater mencatat bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari tiga jam per hari untuk menonton konten video pendek, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pengguna TikTok paling aktif di dunia. Temuan tersebut diperkuat oleh Survei APJII yang menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok yang paling lama mengakses media sosial, dengan durasi penggunaan yang terus meningkat setiap tahun.
Di sekolah dan kampus sekitar Purwokerto, fenomena ini tampak jelas. Salah satu siswa mengaku ia semakin sulit berkonsentrasi dan mudah terdistraksi selama pembelajaran dikarenakan asyik melalukan scrolling TikTok. Hal ini sejalan dengan data Kominfo yang menyebutkan bahwa penggunaan gawai secara berlebihan dapat menurunkan tingkat konsentrasi pada remaja. Banyak siswa juga mengaku tidur larut setelah menonton TikTok, suatu kebiasaan yang menurut WHO dapat mengganggu kualitas tidur dan memicu kelelahan mental.
UNICEF Indonesia menegaskan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan pada remaja dapat meningkatkan risiko kecemasan, overstimulasi, dan ketergantungan digital. Algoritma TikTok yang terus menampilkan konten sesuai minat membuat pengguna sulit berhenti, sehingga waktu belajar sering terabaikan.
Penulis berpendapat bahwa masalah ini bukan semata-mata terletak pada aplikasi TikTok, melainkan pada lemahnya kontrol diri dan rendahnya kesadaran digital. Alih-alih hanya memberikan imbauan, lembaga pendidikan perlu memberikan pendampingan literasi digital yang lebih konkret, seperti menyusun rencana penggunaan gawai, mendiskusikan dampak psikologis media sosial, dan memanfaatkan fitur pembatas waktu aplikasi.
Remaja juga perlu memahami bahwa scroll tanpa tujuan bukan sekadar kebiasaan ringan, melainkan pola yang dapat menurunkan produktivitas dan mengganggu kesehatan mental jika tidak dikelola dengan baik. Konten hiburan tetap dapat dinikmati, tetapi harus disesuaikan dengan batas yang sehat.
Dengan semakin normalnya kebiasaan ini, masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan perlu menyadarkan remaja bahwa sesuatu yang tampak biasa belum tentu menyehatkan. Media sosial semestinya menjadi sarana kreatif, bukan ruang yang membuat generasi muda kehilangan fokus dan waktu berharga mereka.
