Purwokerto -Konflik perebutan tahta Keraton Kasunanan Surakarta kembali mencuat pasca wafatnya Pakubuwono XIII dan memunculkan dua kubu besar dalam keluarga keraton. Hal ini turut menjadi perhatian publik di berbagai kalangan, salah satunya dari mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
Seorang mahasiswa Unsoed menilai bahwa perebutan tahta bukan hal baru dalam sejarah keraton dan generasi muda tidak masalah jika memimpin. “Tidak apa-apa jika yang memimpin berasal dari generasi Z, karena banyak tokoh muda yang mampu memimpin, salah satunya Raja Mangkunegara,” ujarnya. Namun, ia melihat bahwa dukungan terhadap KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram atau yang akrab disapa Gusti Purbaya, putra Pakubuwono XIII, tidak sepenuhnya kuat karena adanya isu negatif di masyarakat. “Banyak yang tidak mendukung karena beredar isu dia pernah terlibat tragedi tabrak lari, sehingga dianggap kurang layak memimpin,” jelasnya.
Mahasiswa tersebut menjelaskan konflik terjadi akibat perbedaan dasar penentuan penerus. Sebagian pihak berpegang bahwa penerus adalah putra tertua, sementara pihak lain berpendapat bahwa calon raja harus anak laki-laki yang lahir setelah ayahnya naik tahta.
Sementara itu, seorang mahasiswa UNS yang merupakan pendatang di Solo menilai masing-masing calon memiliki kelebihan dan kekurangan berdasarkan aturan adat. Namun, menurutnya konflik ini tidak terlalu berdampak langsung bagi kehidupan mahasiswa. “Sebagai pendatang, rasanya tidak terlalu terasa, tapi menarik untuk dipelajari sebagai bagian dari budaya,” jelasnya.
Dengan adanya prosesi jumenengan yang telah digelar pada Sabtu, 15 November 2025, mahasiswa berharap konflik ini dapat diselesaikan secara damai dan berpegang pada adat agar keraton kembali menjadi simbol budaya Jawa yang dihormati masyarakat.
Editor: Mahza Nurul Azizah
