Purwokerto – Dunia komunikasi digital kembali dihebohkan oleh tren bahasa gaul terbaru yang viral di platform TikTok, dikenal sebagai “Bahasa M.” Fenomena linguistik ini tidak hanya menunjukkan kreativitas berbahasa generasi muda, tetapi juga menciptakan sekat sosial digital, di mana Fear of Missing Out (FOMO) mendorong pengguna untuk segera menguasai kode komunikasi baru tersebut.
Apa itu Bahasa M?
Bahasa M adalah sistem modifikasi fonologis dalam bahasa Indonesia yang melibatkan penyisipan fonem /m/ setelah setiap vokal yang diucapkan dalam sebuah kata. Secara sederhana, setiap vokal (a, i, u, e, o) diiringi oleh konsonan “M” dan vokal yang sama.
Jika kata aslinya adalah “aku” maka dalam Bahasa M diucapkan “amku.” Kata “apa” menjadi “ampa”, lalu jika kata huruf “M” sudah ada di tengah itu, maka di ganti dengan huruf “B”, jika kata aslinya “kamu” maka dalam Bahasa M “kambu”. Modifikasi ini sering menghasilkan frasa yang secara struktural (sintaksis) terasa anomali atau janggal bagi penutur non-pengguna, namun tetap dipahami maknanya dalam konteks komunitas penutur.
Siapa Penggagas dan Kapan Dimulai?
Fenomena Bahasa M ini mulai menarik perhatian publik dan menjadi tren masif di TikTok pada paruh kedua tahun 2025. Menurut catatan beberapa studi digital, tren ini dipopulerkan oleh akun kreator konten @ojildanhanoy. Postingan video yang menjadi acuan utama viralnya tren ini menampilkan dialog-dialog santai yang sepenuhnya menggunakan Bahasa M. Video-video tersebut segera menjadi sound dan challenge yang diikuti oleh ribuan pengguna lain, menegaskan betapa cepatnya sebuah kode bahasa dapat menyebar di ranah digital.
Pendorong Viral: Antara Solidaritas dan FOMO
Kepopuleran Bahasa M tidak lepas dari karakteristik komunikasi Generasi Z di media sosial. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa bahasa ini begitu cepat menyebar:
- Identitas Kelompok: Menguasai dan menggunakan Bahasa M berfungsi sebagai penanda keanggotaan dalam sebuah komunitas digital. Ini menciptakan rasa eksklusivitas dan solidaritas di antara pengguna yang “tahu” kodenya.
- Nilai Humor: Sering kali, frasa anomali yang dihasilkan menimbulkan kesan lucu dan unik, menjadikannya konten yang sangat shareable dan menarik interaksi.
- Efek FOMO: Inilah yang menjadi akselerator utama. Bagi sebagian besar pengguna TikTok, tidak memahami atau tidak dapat menggunakan Bahasa M sama dengan ketinggalan tren (FOMO). Dorongan untuk tetap relevan dan terhubung dengan zeitgeist (semangat zaman) digital mendorong mereka untuk segera mempelajari dan mengaplikasikan bahasa ini dalam interaksi sehari-hari.
Dampak pada Lanskap Bahasa
Fenomena Bahasa M menegaskan bahwa TikTok telah bertransformasi menjadi laboratorium linguistik bagi generasi muda. Meskipun secara kaidah baku (KBBI dan PUEBI) Bahasa M termasuk bahasa nonstandar, penggunaannya mencerminkan adaptasi bahasa Indonesia yang sangat fleksibel terhadap kebutuhan ekspresi di media sosial.
Melihat tren ini sebagai bagian alami dari evolusi bahasa gaul. Bahasa tidak lagi hanya berfungsi menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk modal sosial. Seseorang yang cakap dalam tren bahasa terbaru dianggap lebih “kekinian” dan memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hirarki komunitas digital, sebuah realitas yang didorong kuat oleh algoritma viral dan kecenderungan audiens untuk selalu mengikuti apa yang sedang ramai dibicarakan.
Selama Bahasa M masih menempati kolom For You Page (FYP) dan memicu interaksi tinggi, ia akan terus menjadi subjek perhatian, baik sebagai wujud kreativitas linguistik murni maupun sebagai studi kasus tentang kekuatan psikologi sosial digital, yakni FOMO, dalam membentuk budaya berbahasa baru.
Editor : Ida Fitri Nur Rahmah
