Bagi banyak mahasiswa rantau, malam hari bukan sekadar waktu untuk beristirahat. Pada jam-jam ketika lampu-lampu kos mulai diredupkan, sebagian dari mereka justru baru memulai pergulatan emosinya. Rindu rumah, tekanan tugas kuliah, hingga rasa kesepian sering kali datang bersamaan, membentuk dinamika perasaan yang jarang terlihat oleh orang lain.
“Siangnya aku bisa ketawa sama teman-teman, tapi pas malam tiba, rasanya semua beban ngumpul,” ujar Salsa (20), mahasiswa semester tiga asal Bekasi yang berkuliah di Purwokerto. Ia mengaku kerap menangis diam-diam ketika merindukan keluarganya, terutama saat jadwal perkuliahan sedang padat dan tugas datang bertubi-tubi.
Fenomena ini tidak terjadi pada satu atau dua mahasiswa saja. Banyak mahasiswa rantau berada dalam kondisi emosional yang berubah-ubah setiap hari. Pagi hari mereka mungkin tampak energik, memenuhi ruang kelas dengan obrolan dan tawa. Namun malamnya, kesunyian kamar kos menjadi cermin yang menunjukkan kerentanan mereka.
Meski begitu, dinamika emosi ini tidak hanya berisi kesedihan. Banyak mahasiswa rantau yang justru menemukan kekuatan baru melalui komunitas kecil yang mereka bangun. Teman kos menjadi keluarga kedua, ruang belajar menjadi tempat curhat, dan momen sederhana seperti makan bersama menjadi obat bagi rasa rindu.
Pada akhirnya, perjalanan menjadi mahasiswa rantau adalah perjalanan merangkul rasa. Ada malam-malam yang penuh tangis, tetapi juga pagi-pagi dengan tawa yang tulus. Di antaranya, tersimpan kisah ketahanan, kemandirian, dan kemampuan bertumbuh menghadapi dunia yang lebih luas dari rumah sendiri.
