
(sumber: dokumen pribadi)
Purwokerto- Fenomena digital fatigue atau kelelahan akibat penggunaan teknologi digital meningkat di berbagai kelompok masyarakat, mulai dari pekerja kantoran, pelajar, ibu rumah tangga, hingga pengguna aktif media sosial. Kondisi ini muncul sebagai dampak dari meningkatnya ketergantungan terhadap perangkat digital dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan pola kerja dan komunikasi beberapa tahun terakhir membuat masyarakat hampir selalu terhubung dengan layar mulai dari rapat virtual, kelas daring, belanja online, hingga konsumsi media sosial. Durasi screen time yang terus meningkat tidak hanya memicu gejala kelelahan digital seperti menurunnya fokus dan kejenuhan, tetapi juga mulai memengaruhi cara orang berinteraksi dan berbahasa di ruang digital.
Akar psikologi teknologi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Sherry Turkle, menjelaskan bahwa paparan digital yang terus-menerus dapat mengganggu kemampuan otak untuk beristirahat. Tanpa jeda, otak kehilangan ruang untuk memproses emosi dan informasi secara sehat. “Ketika manusia terhubung terlalu lama, mereka kehilangan kesempatan untuk melakukan pemulihan mental dan emosional,” tulisnya dalam Reclaiming Conversation (2015).
Dampak ini kini terlihat jelas dalam praktik komunikasi sehari-hari. Kelelahan digital membuat pesan yang dikirim pengguna cenderung lebih pendek, ringkas, atau bahkan minim elaborasi. Bentuk pemendekan seperti “btw”, “gmn”, “ok”, hingga penggunaan emoji sebagai pengganti frasa tertentu, semakin sering muncul sebagai strategi linguistik untuk menghemat energi kognitif. Fenomena dry texting, balasan satu kata, atau pesan yang hanya berisi ikon menjadi tanda bahwa beban digital berpengaruh langsung pada pilihan bahasa dan gaya komunikasi.
Selain itu, ritme komunikasi turut berubah. Pengguna semakin sering menunda balasan, meminimalkan penggunaan tanda baca, atau memilih struktur kalimat yang lebih sederhana. Para ahli menilai bahwa pola-pola ini merupakan respons linguistik alami terhadap kelelahan digital yang semakin umum dialami masyarakat.
Untuk mengurangi dampaknya, para pakar menganjurkan penerapan batasan digital, seperti membatasi notifikasi, mengambil jeda layar secara berkala, serta menyeimbangkan aktivitas daring dan luring. Langkah sederhana seperti istirahat lima menit setiap satu jam penggunaan perangkat dinilai efektif membantu pemulihan kognitif dan mempertahankan kualitas komunikasi.
Fenomena digital fatigue diprediksi akan terus meningkat apabila tidak diimbangi dengan pengelolaan teknologi yang lebih sadar. Meski demikian, pakar melihat bahwa pola penggunaan digital yang teratur dapat membantu masyarakat tetap terhubung tanpa harus mengorbankan kesehatan mental maupun kualitas kebahasaan di era komunikasi serbadaring.
Editor: Lusi Rahmalia
