Purwokerto—Sosok Bawor, tokoh punakawan dalam tradisi wayang Banyumasan, telah menyatu dengan identitas Kabupaten Banyumas. Sejak akhir 1980-an, Bawor berubah dari karakter wayang menjadi simbol yang menggambarkan watak cablaka, jujur dan merakyat, karakter yang dianggap mewakili masyarakat Banyumas.
Gagasan menggunakan Bawor sebagai maskot atau ikon Banyumas pertama muncul pada tahun 1987 dari seorang pemerhati kebudayaan lokal, lalu disetujui oleh bupati kala itu, Djoko Soedantoko.
Menurut sejumlah studi, saat kepemimpinan bupati tersebut (1988–1998), Bawor mulai disosialisasikan secara luas: gambarnya muncul pada spanduk, publikasi hari jadi kabupaten, dan berbagai media promosi pemerintah setempat.
Meski demikian, penetapan ini bersifat tidak formal yang artinya tidak melalui proses legislatif seperti Peraturan Daerah (Perda) atau keputusan resmi DPRD. Keputusan dilakukan secara gethok tular (dari mulut ke mulut / tak resmi), tetapi kemudian diterima luas oleh masyarakat.
Secara tradisional, Bawor muncul dalam pementasan wayang gagrag Banyumasan sebagai bagian punakawan, bersama karakter lain seperti Semar, Petruk, dan Gareng yang mewakili wong cilik.
Karakter Bawor dikenal cablaka, artinya ceplas-ceplos, jujur, merakyat, berbeda dengan tokoh ksatria dalam wayang; sehingga Bawor dianggap cocok menjadi representasi gaya hidup dan sikap orang Banyumas.
Selain itu, dalam koleksi wayang kulit gaya Banyumasan di museum-museum lokal, Bawor digambarkan dengan khas. Misalnya warna kuning keemasan pada wayang kulitnya, yang melambangkan kejujuran dan kesetiaan pada kebenaran, metafora “emas tetap emas meskipun dalam lumpur”.
Sejak diangkat sebagai ikon, gambaran Bawor muncul di berbagai acara publik dan kegiatan resmi di Banyumas. Misalnya, pada perlombaan debat nasional yang diselenggarakan di Universitas Jenderal Soedirman pada Oktober 2025 kemarin, karakter Bawor dijadikan sebagai maskot resmi. Ini menunjukkan popularitas dan penerimaan luas di masyarakat.

sumber: dokumentasi pribadi
Simbol Bawor juga dipakai di berbagai komunitas lokal termasuk organisasi kepemudaan, Pramuka, serta dalam identitas kelompok suporter tim sepak bola lokal Persibas Banyumas (yang memakai julukan “Laskar Bawor”).
Penetapan Bawor sebagai ikon lokal tak hanya bersifat simbolik. Bawor menjadi jembatan antara warisan tradisi (wayang Banyumasan) dengan kehidupan kontemporer masyarakat Banyumas. Dengan figur Bawor, masyarakat Banyumas punya “wajah” bersama yang mudah dikenali. Sesuatu yang bisa memperkuat kohesi sosial, kebanggaan lokal, dan pelestarian budaya di tengah dinamika zaman.
Editor: Tsania Kasyifa Rizqi
