Takut Dianggap FoMO: Fenomena yang Membatasi Anak Muda di Era Digital

(Ilustrasi: Desain oleh penulis menggunakan elmen Canva)

Di tengah derasnya perkembangan tren digital saat ini, muncul fenomena baru di kalangan anak muda, yaitu ketakutan untuk menyukai hal baru karena khawatir dianggap Fear of Missing Out (FoMO). Label FoMO kini tak hanya merujuk pada kecemasan karena merasa tertinggal, tetapi juga berubah menjadi stigma sosial yang membuat seseorang ragu untuk menunjukkan ketertarikan pada hal yang sedang populer.

Rasa takut dilabeli FoMO membuat banyak anak muda menahan diri untuk mencoba hobi baru, mengikuti tren positif, atau menikmati sesuatu yang sedang ramai dibicarakan. Bagi sebagian dari mereka, menyukai hal yang sedang viral dianggap berisiko dicap sebagai “ikut-ikutan” dan tidak autentik.

Sebuah penelitian pada 314 anak muda pengguna media sosial dari Jurnal Diversita menunjukkan bahwa FoMO berkaitan dengan kondisi emosional seseorang. Tekanan dari lingkungan digital bisa membuat orang lebih berhati-hati dalam menunjukkan minat mereka. Temuan ini membantu menjelaskan mengapa sebagian remaja dan mahasiswa takut mencoba hal baru karena khawatir dianggap hanya ikut tren atau dicap FoMO.

Dalam beberapa kasus, tekanan ini membuat anak muda justru membatasi diri. Mereka lebih memilih menghindari kegiatan atau tren tertentu, meski sebenarnya tertarik, hanya karena takut dianggap sekadar mengikuti arus. Kondisi ini dapat menghambat eksplorasi diri dan proses belajar, terutama di lingkungan digital yang serba cepat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan pada tren atau topik yang disukai, melainkan pada bagaimana masyarakat menilai ketertarikan seseorang. Menyukai hal baru bukanlah tanda bahwa seseorang mengalami FoMO, bisa jadi itu bagian alami dari rasa ingin tahu dan proses pengembangan diri.

Sudah saatnya stigma terkait FoMO tidak lagi dijadikan alat untuk menilai seseorang. Anak muda memerlukan ruang yang aman untuk mengeksplorasi minat mereka tanpa rasa takut dinilai negatif. Dengan memahami bahwa setiap orang bebas menikmati hal baru tanpa harus dicap apa pun, kita dapat membangun budaya digital yang lebih ramah, terbuka, dan sehat bagi semua orang.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *