Purwokerto – Pukulan gong memecah keheningan malam, menandai dimulainya perjalanan emosional di panggung Pentas Drama Jagat Rasa. Gelaran ini dipersembahkan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Angkatan 23 di Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
Sorot lampu berwarna merah, oranye, dan ungu perlahan menyala, menyapu dekorasi panggung yang disulap apik menjadi “Kampung Grendeng”. Di sana, realitas masyarakat pinggiran tersaji telanjang: dinding pabrik tahu, bangku-bangku kayu, kursi plastik, hingga warung kecil dengan rencengan snack yang menggantung.
Selama tiga hari berturut-turut, mulai Rabu (10/12/25), pementasan ini digelar. Pada hari pertama, lakon bertajuk “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” karya Arifin C. Noer dipentaskan. Penonton diajak menyelami kehidupan “wong cilik” yang penuh konflik, ironi, dan dahaga akan keadilan.
Drama di Warung Pecel
Cerita bermula dari keluhan-keluhan warga tentang porsi pecel yang makin sedikit dan harga bahan makanan yang meroket. Konflik memuncak di sebuah warung pecel milik Si Mbok, tepat di depan pabrik “Tahu Grendeng”. Seorang pemuda bernama Lukman datang, menyantap pecel dan gorengan dengan lahap hingga tagihannya membengkak menjadi Rp20.000.
Ketegangan pecah saat Lukman berdalih dompetnya tertinggal. Si Mbok, yang masih trauma karena tertipu modus serupa dua minggu sebelumnya, menolak percaya. Keributan itu memancing amarah warga seperti Yanti, Bude, dan lainnya. Mereka memaksa Lukman melepas bajunya sebagai jaminan, bahkan menolak tawaran bantuan dari seorang wanita kaya bernama Mbak Yu.
Air Susu Dibalas Air Tuba
Momen paling menyentuh terjadi ketika panggung senyap, hanya menyisakan Si Mbok dan Lukman. Pemuda itu meratap, mengaku sebagai anak yatim piatu. Hati tua Si Mbok luluh. Didorong rasa iba, ia mengambil kembali baju Lukman dari tangan salah satu warga yaitu Timi dan mengembalikannya.
Namun, kebaikan itu justru berbalas tuba. Penonton dibuat terperangah ketika terungkap bahwa Lukman sejatinya adalah seorang pencuri. Ia tidak hanya menipu kepercayaan Si Mbok, tetapi juga menggasak radio milik Mbak Yu.
Pengkhianatan yang dilakukan Lukman di atas panggung sukses mengaduk-aduk perasaan penonton yang menyaksikan ketulusan Si Mbok disia-siakan.
“Tadi pas adegan Si Mbok ditipu sama pemuda itu, rasanya kesal dan sedih. Apalagi pas Si Mbok menangis karena ditipu untuk yang kedua kalinya,” ungkap Zia, salah satu penonton, menumpahkan kekesalannya usai pertunjukan.
Kisah berakhir tragis. Sejak peristiwa itu, Si Mbok memutuskan untuk tidak berjualan pecel lagi karena trauma yang mendalam.
Antusiasme dan Kualitas di Luar Ekspektasi
Di luar kisah pilu di panggung, atmosfer acara terasa begitu hidup. Sejak gerbang dibuka pukul 18.00 WIB, area luar dipenuhi stan jajanan seperti dimsum hingga chicken d’celup yang memanjakan penonton sebelum acara dimulai.
Namun, kepuasan utama penonton bukan datang dari jajanan tersebut, melainkan dari suguhan drama di dalam aula. Dengan harga tiket yang hanya dibanderol Rp15.000, pertunjukan ini dinilai memberikan pengalaman artistik dan emosional yang jauh melampaui harganya.
“Worth it banget. Semua aktor bermain peran mendalami karakter dengan baik sehingga bisa membawakan cerita yang maknanya bisa tersampaikan kepada saya sebagai penonton, cerita yang dibawakan jujur dengan realita sehingga berkesan untuk saya,” tambah Zia menutup ulasannya dengan puas.
Pementasan ini menutup malam dengan sebuah renungan besar. Kisah Si Mbok menjadi pengingat bahwa ketidakpedulian dan kemiskinan di sekitar kita adalah masalah bersama. Seperti pesan yang tersirat dalam naskah tersebut: kepedulian pada urusan negara sejatinya dimulai dari kepedulian pada realitas sosial di depan mata kita sendiri.
Editor: Yasfika Afilia
