Purwokerto—Di balik gemerlap panggung dan sorotan lampu panggung Aula Bambang Lelono Fakultas Ilmu Budaya Unsoed pada malam hari, Kamis 11 Desember 2025, wajah para aktor dalam pementasan Jagat Rasa Kelas B berubah perlahan menjadi tokoh yang tersesat di tikungan hidup seperti yang dituturkan W.S. Rendra dalam naskah Orang-Orang di Tikungan Jalan. Namun ada kisah lain yang tak terlihat oleh penonton awam, kisah tentang tata rias yang menghidupkan setiap denyut emosi di panggung. Sentuhan-sentuhan artistik yang seringkali terlewatkan, namun memegang peran krusial dalam menghidupkan sebuah karakter dan suasana.
Di balik panggung, para penata rias sudah melewati jam-jam panjang yang tak terlihat oleh penonton. Dunia rias di balik panggung adalah dunia lain yang sunyi, teliti, dan sering kali menentukan apakah seorang aktor benar-benar hidup di panggung atau tidak.
Para mahasiswa kelas B memahami bahwa rias bukan sekadar polesan saja, melainkan alat untuk membangun jiwa para tokoh. Tata rias di sini menjadi jembatan komunikasi antara tokoh dan penonton. Bagi mahasiswa kelas B ini, rias adalah bahasa kedua, bahasa yang berbicara lewat warna, garis, dan penekanan ekspresi.
Malam itu semua wajah baru muncul, bukan sebagai wajah mahasiswa, tetapi wajah manusia yang digambarkan dalam drama. Semuanya bermula dari kuas kecil yang menggores warna di pipi.
“Make-up drama itu ngga bisa disamakan sama make-up harian, harus bold. Kalau engga, hilang di bawah lampu,” ujar Ihat Latipah, tim tata rias kelas B. Lampu panggung yang keras memang mampu menghapus ratusan detail wajah, sehingga rias menjadi senjata untuk mempertahankan ekspresi. Kontur dibuat lebih dalam, garis mata menebal, warna bibir dinaikkan intensitasnya.

Proses rias bukan hanya soal estetika. Ia memerlukan empati. Sebelum satu pun kuas menyentuh wajah aktor, ada satu pekerjaan yang diwajibkan, membaca naskah, “Pahami karakter tokohnya, yang centil harus terlihat centil, yang muram harus terlihat muram. Rias itu harus ikut bercerita,” ungkap Ihat.
Tata rias atau Make-up ini adalah perangkat komunikasi visual yang membantu mengungkap makna tersembunyi dalam naskah, mempermudah penonton menangkap identitas, relasi, dan kondisi batin tokoh. Dalam teater, wajah adalah kalimat pertama yang dibaca penonton, bahkan sebelum aktor berbicara.
Di panggung, para tokoh memiliki kekuatan untuk mengubah cara penonton memaknai adegan. “Riasan itu bisa banget mengubah pemahaman penonton, dari make up yang dipakai, penonton bisa langsung nangkep sisi emosional atau karakter dari tokohnya,” ujar Khiza Alfita Dwi Azizah, tim tata rias kelas B.
Drama ini mengambil latar tahun 1990-an. Itu berarti rias pun harus mengenakan bahasa visual dekade itu. Tak ada eyeliner wing modern atau shading kekinian. Yang ada adalah gaya sederhana yang khas masa itu, kulit wajah matte, alis tipis dicabut, lip liner gelap membingkai, lipstick cokelat matte, eyeshawdow warna terang, serta eyeliner tebal dan sedikit smudged, menciptakan tampilan yang antara natural minimalis hingga grunge dramatis.
Jauh dari hari itu, tim penata rias sudah berkali-kali berlatih, bukan hanya pada aktor, tetapi juga pada diri mereka sendiri.
“Kami latihan beberapa kali. Ngga bisa langsung di hari-H. Harus tahu bentuk wajah aktor, harus terbiasa. Kami juga latihan di tim make-up dulu. Cara memberi counter, cara menua-kan wajah, semua dicoba dulu,” jelasnya.
Meskipun sudah berlatih berkali-kali, tim tata rias mengaku bahwa masih banyak kendala yang harus dihadapi antara lain keterbatasan make-up yang sering tidak sesuai shade, jumlah aktor yang banyak sementara penata rias hanya dua orang, serta sulitnya menemukan busana jadul yang ukurannya pas, tim tetap berusaha meracik tampilan terbaik bagi para pemeran berkat bantuan lintas divisi dan kerja keras hingga tahap finishing.

Di ruang rias itu, sebelum wajah aktor menyerap karakter, wajah penata riaslah yang lebih dulu menjadi arena eksperimen. Ada rias kelelahan, kebencian, cinta yang disangkal, dan lainnya. Semua dilatih, agar di hari pementasan, jari-jari mereka tak ragu dan tak salah membaca wajah.
Ketika penonton akhirnya masuk ke aula, mereka tak melihat mahasiswa. Mereka melihat tokoh-tokoh Rendra yang berdiri di tikungan hidup mereka masing-masing. Ada yang menatap masa lalu, ada yang menahan cinta, ada yang membawa harapan kecil di balik senyum rapuh. Riaslah yang membantu semua itu tampak ringan tapi nyata.
Seorang aktor yang memerankan lelaki yang penat ditambah garis-garis halus di bawah mata. Aktris yang memerankan perempuan yang kehilangan arah diberi rona lembut yang menggambarkan harapan yang tinggal sedikit. Semua rias itu bekerja tanpa suara tetapi berbicara lebih lantang daripada dialog pertama.
Dalam drama, kata-kata sangat kuat. Namun malam itu, sebelum kata-kata itu terucap, rias wajah sudah lebih dulu menghidupkan wajah untuk bercerita. Ia membisikkan kerentanan, menajamkan kesedihan, dan meminjamkan keberanian kepada karakter yang tak pernah benar-benar menemukannya dalam hidup mereka.
Make-up bukan hanya seni mempercantik. Ia adalah bahasa kedua, yang bekerja di wilayah yang tak terjangkau oleh kalimat. Di panggung itu, rias menjadi pintu yang memperbolehkan penonton mengintip isi hati manusia yang berdiri di tikungan jalan, berusaha memutuskan langkah apa yang harus mereka ambil.
Dan malam itu, penonton melihatnya dengan jelas, bukan hanya karena panggung temaram, tetapi karena wajah-wajah itu telah berbicara dengan sangat jujur.
Editor:
