Yang Kita Temui Saat Berhenti Melihat: Tentang Manusia yang Sedang Berjalan

Begitu melangkah melewati pintu masuk, saya langsung disambut oleh lorong yang dipenuhi cahaya lembut dan kertas foto beraroma samar menyentuh hidung saya dan masuk ke relung jiwa. Deretan potret dalam dinding putih tertata rapi, seakan membentuk jalur yang mengantar setiap pengunjung memasuki dunia Spektrum Waktu—sebuah wadah yang menyatukan foto-foto dalam satu ketukan hati. Tidak ada suara selain langkah kaki dan bisikan kecil para pengunjung. Namun, dalam diam itu, foto-foto tersebut seolah berbicara paling lantang. Persembahan karya-karya fotografi tentang perjalanan utuh kehidupan manusia setiap fase waktu katanya.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Setiap potret menampilkan ekspresi yang tak pernah stabil: wajah yang khusyuk membaca sebuah karya dari Tere Liye, senyum yang patah sebelum sempat tumbuh, dan wajah yang menatap kosong seperti sedang menyimpan badai. Saya mendapati diri berhenti terlalu lama di salah satu foto—potret seorang laki-laki paruh baya yang sedang menjual koran di jalanan. Ada harapan dan do’a yang terpanjat untuknya. Tanpa sadar, foto-foto itu membuka pintu pertama menuju rasa yang akan kembali saya temui di ruang lain.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Dari lorong pameran, pengunjung diarahkan menuju aula utama. Begitu pintu dibuka, cahaya panggung yang kontras menyergap mata. Musik perlahan mengisi ruangan, dan para aktor memasuki panggung dengan tubuh yang bercerita lebih dulu sebelum suara mereka memulai dialog. Teater Jagat Rasa bukan sekadar penampilan; ia seperti terjemahan hidup dari potret-potret di luar, yang kini menemukan bentuknya dalam gerakan, suara, dan jeda. Ada momen ketika saya menyadari bahwa pementasan berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan ini mengingatkan saya pada foto yang saya lihat sebelumnya—sepele, namun menyentuh, seolah kedua medium itu saling berkejaran mengejar makna.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Yang istimewa dari sini adalah bagaimana mereka membiarkan dua seni berjalan dalam ritme berbeda namun menuju rumah yang sama: pengalaman manusia. Foto-foto membuka luka dan kejujuran dalam bentuk paling hening, sementara teater menafsirkan rasa itu dalam dinamika yang lebih keras, lebih hidup, dan lebih menyentak. Satu memulai cerita, yang lain menyelesaikannya.

Pada akhirnya, saya keluar dari ruang teater dengan perasaan yang sulit dirapikan. Ada sesuatu dari perjalanan berpindah dari bingkai-bingkai diam ke panggung yang bergerak yang membuat seni terasa lebih dekat: seperti ada jarak batin yang berhasil dijembatani. Jagat Rasa dan Spektrum Waktu bukan hanya pertunjukan dan pameran; ia adalah perjalanan emosional yang menuntut kita untuk berhenti, menatap, dan merasa lebih dari biasanya.

Editor:

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *