Potret Buram Keadilan di Warung Tahu Grendeng

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Purwokerto – Aula Fakultas Ilmu Budaya terasa lebih hangat dari biasanya. Puluhan mahasiswa duduk lesehan memenuhi lantai, merapat hingga ke bibir panggung. Tidak ada kursi, tidak ada sekat. Bahu bertemu bahu, mereka duduk bersama menantikan pembukaan acara Jagat Rasa, Rabu malam, 10 Desember 2025.

Perhatian mereka tertuju pada satu titik terang. Sebuah dekorasi tembok bata kusam dengan tulisan cat putih “Tahu Grendeng” berdiri di panggung. Di sanalah naskah Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya Arifin C. Noer dimainkan. Bukan kisah pahlawan yang disajikan, melainkan cerita sederhana tentang Si Mbok, penjual pecel yang harus menelan pil pahit kehidupan.

Penonton diajak menyelami nasib Si Mbok yang lugu saat berhadapan dengan Lukman, pemuda yang terjepit keadaan. Lukman berbohong, mengaku belum digaji agar bisa lari dari utang makanannya. Konflik batin mulai terasa saat warga sekitar menghukum Lukman dengan melucuti bajunya. Namun, justru Si Mbok yang memelas meminta baju itu dikembalikan. Kebaikan hatinya dimanfaatkan, dan kebohongan Lukman pun menang.

Di tengah puluhan mahasiswa yang duduk di lantai itu, Yasfika tampak terdiam usai pementasan. Mahasiswi ini merasa apa yang ia tonton bukan sekadar drama, melainkan cermin kenyataan. “Akting Si Mbok waktu dia kecewa tapi tetap memaafkan itu rasanya dekat sekali dengan realita kita,” ujar Yasfika pelan.

Suasana kebersamaan ini sudah dibangun sejak pukul 18.00 WIB. Dekan FIB, Prof. Ely Triasih Rahayu, didampingi Kaprodi Dr. Memet Sudaryanto, membuka acara dengan memukul gong tiga kali. Dentuman gong terakhir menandai dimulainya pesta kreativitas mahasiswa. Malam itu, duduk lesehan sambil menyaksikan kisah Si Mbok, para mahasiswa belajar bahwa panggung teater adalah ruang terbaik untuk merenungi kembali arti kejujuran.

Editor: Windi Srimulyati

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *