Fakultas Ilmu Budaya yang Tak Pernah Sepi: Tiga Hari Penuh Jagat Rasa, Merayakan Sastra dan Waktu

Purwokerto—Aula Bambang Lelono di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) seakan menolak tidur. Selama tiga hari berturut-turut, mulai Rabu hingga Jumat, 10 hingga 12 Desember 2025, ruang ini dipenuhi gema sastra, warna, dan renungan yang dibingkai apik dalam Jagat Rasa 2025 yang merupakan gelar akbar mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023.

Riuh percakapan penonton perlahan mereda saat MC membuka rangkaian acara. Acara dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unsoed, Prof. Dr. Ely Triasih Rahayu, S.S., M.Hum.. Beliau menyampaikan apresiasi tinggi atas pementasan yang digelar mahasiswa, disambut tepuk tangan meriah dari penonton.

Digagas oleh mahasiswa angkatan 2023, Jagat Rasa adalah orkestrasi seni yang tak sekadar ditonton, melainkan dirasakan hingga ke relung jiwa. Perayaan ini membuktikan, di tengah hiruk-pikuk akademik, FIB adalah mata air kreativitas yang tak pernah kering. Jagat Rasa sendiri adalah ruang perayaan yang menyeluruh, tempat sastra, seni visual, dan refleksi waktu bertemu.

Spektrum Waktu: Pohon Kenangan dan Galeri Jurnalistik

Sebelum dan sesudah pertunjukan utama, para pengunjung diajak singgah ke sebuah instalasi yang hangat dan kontemplatif: “Spektrum Waktu”. Di ruang depan aula, pameran fotografi jurnalistik ini menarik perhatian sejak pengunjung melangkah masuk, memadukan konsep galeri konvensional dengan instalasi seni yang unik.

Foto-foto hasil jepretan seluruh mahasiswa angkatan 2023 dipajang pada panel-panel dinding putih, menampilkan potret kehidupan dari berbagai sudut pandang; sederhana, jujur, dan sarat makna. Pencahayaan yang terarah pada panel-panel tersebut semakin menonjolkan detail hasil karya jurnalistik mereka.

Namun, pusat perhatian visual utama adalah Pohon Kenangan. Sebuah instalasi yang dibangun dari ranting kering yang disusun menyerupai pohon tanpa daun, namun rantingnya dipenuhi potongan waktu yang dibekukan dalam foto. Cahaya kuning lembut yang melilit ranting menciptakan nuansa hangat sekaligus melankolis. Setiap foto bagaikan daun yang tumbuh dari perjalanan hidup, merekam fragmen waktu dan aktivitas manusia.

​Pengunjung dapat melihat hasil jepretan fotografi yang diambil oleh semua angkatan 2023 dan juga melihat cerita di balik semua foto itu. Area pameran yang estetik ini, baik panel dinding maupun instalasi Pohon Kenangan, juga menjadi spot foto yang populer bagi para pengunjung. Tidak hanya itu, ada spot khusus untuk kita menulis kesan dan pesan juga. Pameran ini sukses memperkaya pengalaman, menjadikan “Spektrum Waktu” sebagai pembuka dan penutup yang penuh makna bagi setiap rangkaian malam Jagat Rasa.

​Tiga Malam di Atas Panggung: Menyingkap Lapisan Realita

Malam Pembuka: Mentari di Jalan Kecil yang Jenaka
Rabu, 10 Desember, tirai dibuka oleh pertunjukan teater dari kelas A, “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” karya Arifin C. Noor. Lakon ini mengangkat kritik terhadap kesenjangan ekonomi dan kejujuran dengan balutan komedi yang meledak

Dalam lakon “Matahari di Sebuah Jalan Kecil,” kritik sosial dibalut komedi yang meledak-ledak. Adegan adu mulut jenaka tentang pecel yang tak di bayar mencapai klimaks tawa saat Lukman diusulkan untuk menyerahkan celana sebagai jaminan, yang akhirnya disepakati dengan baju. Meskipun menolak keras dengan seruan “Emho, emoh aku emohhh,” pada akhirnya Lukman terpaksa menyerahkan bajunya sebagai jaminan. Kebaikan Simbok Sri yang kemudian mengembalikan baju Lukman karena iba. Namun, saat hari berganti rasa iba segera dihempas ironi yang menyakitkan: Simbok Sri dikejutkan oleh teriakan warga yang mengejar Lukman sebagai maling. Pementasan ini sukses menghadirkan humor yang getir, merangkai tawa dan kepedihan dalam satu bingkai tentang kejujuran dan belas kasihan yang disalah tempatkan.

​Malam Kedua: Bisikan Luka di Tikungan Jalan
​Kamis, 11 Desember, Jagat Rasa membawa penonton menuju sudut realita yang paling sunyi melalui “Orang-Orang di Tikungan Jalan” karya W.S. Rendra.

Ini adalah ruang pertemuan para jiwa yang terluka. Djoko datang dengan langkah berat, mencari pelarian dari pengkhianatan cinta, singgah di Jalan Puspa. Ia bertemu dengan Sri, sosok perempuan jalang yang berdamai dengan stigmanya, menampilkan dua luka yang bertemu di ruang yang sama. Tokoh Surya, sang ayah yang tenggelam dalam kebiasaan mabuk, tampil sebagai suara paling lantang yang menyuarakan kegelisahan. Lakon ini mengungkap luka batin sang anak yang dicap tidak waras (Narco) karena menolak mengakui Surya sebagai ayahnya. Pementasan ini tidak menawarkan penyelesaian yang manis, melainkan kesadaran bahwa persoalan moral, kemiskinan, dan luka batin tetap berada di tikungan jalan yang sama. Luka batin, stigma, dan kemiskinan adalah realitas sosial yang tidak memiliki jalan keluar yang manis. Teater adalah cermin yang memaksa kita merenungi manusia-manusia di persimpangan nasib.

Malam Penutup: Bayang di Balik Singgasana Kasta
​Malam terakhir, 12 Desember, Jagat Rasa ditutup dengan lakon yang elegan namun menusuk: “Bayang di Balik Singgasana,” adaptasi dari Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya.

Pementasan ini adalah kritik tajam terhadap sistem kasta. Gusti Biang, sang bangsawan, tampil sebagai representasi tradisi yang mengikat kuat. Amarah dan penolakannya terhadap kaum sudra mencerminkan bagaimana garis kasta menjadi bayang-bayang yang menjaga singgasananya.

pementasan ini diselipi humor yang jenaka terutama dalam perdebatan Nyoman dan Gusti Biang memecah ketegangan. Pertunjukan ditutup dengan adegan perdamaian yang mengharukan. Ida Ratu, meskipun mengetahui Simbok Purbani adalah ibu kandungnya dan Nyoman adalah adiknya, tetap memanggil Gusti Biang ‘Ibu’ dan menerima takdir itu. Setelah Gusti Biang minta maaf kepada nyoman dan Simbok Purbani mereka berempat hidup rukun dan Gusti Biang tidak lagi memandang mereka sebagai kaum sudra. Lakon ini meninggalkan refleksi mendalam tentang kemanusiaan, perbedaan, dan harapan untuk bersatu di balik status sosial.

Melalui Jagat Rasa 2025, Fakultas Ilmu Budaya sekali lagi menegaskan perannya sebagai panggung kehidupan. Ia adalah ruang jeda dan ruang perenungan, tempat para mahasiswa merayakan rasa dan menjadikan setiap sudutnya tak pernah sepi. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023 tidak hanya menyelesaikan tugas kuliah, tetapi juga sukses menyajikan perayaan seni, kebersamaan, dan semangat berkarya yang sesungguhnya.

Editor : Nada Naila Salsabila

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *