Jagat Rasa 2025: Tiga Malam Merayakan Rasa

Purwokerto—Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, terasa hidup selama tiga hari, 10–12 Desember 2025. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023 menggelar “Jagat Rasa 2025”, sebuah perayaan yang memadukan pementasan teater dan pameran fotografi jurnalistik sebagai penutup mata kuliah Penyutradaraan dan Jurnalisme Fotografi. Sejak pukul 17.00 WIB, pengunjung berdatangan untuk menyusuri pameran foto bertajuk “Spektrum Waktu” sebelum menikmati tiga lakon berbeda yang dipentaskan bergantian setiap malam.

Di bagian depan aula, “Spektrum Waktu” mengajak pengunjung menelusuri perjalanan hidup manusia dari masa kecil hingga dewasa. Foto-foto yang dipajang di dinding dan pada instalasi “Pohon Kenangan” merekam fragmen keseharian dari aktivitas kerja di sungai hingga suasana latihan seni yang mengingatkan bahwa hidup sering kali melenceng dari bayangan ideal. Area pameran yang estetik ini bukan hanya berfungsi sebagai galeri, tetapi juga sebagai ruang jeda, tempat orang berhenti sejenak, membaca cerita di balik foto, dan merangkai kenangan mereka sendiri. Suasananya tenang dan hangat, menjadi pengantar yang pas sebelum penonton beralih ke hiruk-pikuk emosi di dalam aula.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ketika lampu aula diredupkan, panggung mengambil alih cerita. Malam pertama dibuka dengan “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” karya Arifin C. Noor, yang menggambarkan kehidupan kampung padat dengan problem sosial yang akrab ditemui. Adegan-adegan jenaka memancing tawa, namun perlahan bergeser menjadi kisah menyentuh tentang kejujuran dan kemiskinan; salah satu yang paling membekas adalah ketika baju Lukman dijadikan jaminan karena ia tak mampu membayar makanan, sebelum akhirnya ia malah dituduh sebagai maling. Pada malam kedua, suasana berubah lebih gelap dan muram lewat “Orang-Orang di Tikungan Jalan” karya W.S. Rendra. Tokoh-tokoh seperti Djoko, Sri, Surya, dan Narko hadir sebagai jiwa-jiwa terluka di jalan persinggahan yang keras, diperkuat oleh panggung sederhana yang sedikit berantakan, menggambarkan hidup yang penuh ketidakpastian dan luka yang tak kunjung pulih.

Malam terakhir ditutup dengan “Bayang di Balik Singgasana”, adaptasi dari karya Putu Wijaya, yang mengangkat persoalan sistem kasta dan hubungan antarmanusia. Panggung yang lapang, dengan satu kursi di tengah, menjadi simbol kekuasaan sekaligus kesepian, sementara ornamen bernuansa Bali menegaskan ikatan tradisi yang kaku. Konflik antara Gusti Biang, Nyoman, Simbok Purbani, dan Ida Ratu disampaikan dengan serius, namun tetap diselingi humor ringan, sebelum akhirnya berlabuh pada adegan damai yang menandai permintaan maaf, penerimaan, dan tekad untuk hidup berdampingan, sebuah pesan bahwa kemanusiaan selalu lebih besar daripada garis kasta.

Jika disatukan, tiga malam “Jagat Rasa 2025” menghadirkan perjalanan cerita yang utuh: dari kehidupan kampung yang ramai, jalanan yang penuh luka, hingga ruang kekuasaan yang sunyi. Di satu sisi, foto-foto “Spektrum Waktu” mengajak pengunjung menengok kembali perjalanan hidup mereka; di sisi lain, pementasan teater memunculkan emosi dan konflik yang dekat dengan keseharian. Bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023, “Jagat Rasa 2025” bukan sekadar tugas akhir mata kuliah, melainkan bukti bahwa, dengan panggung sederhana dan properti apa adanya, seni tetap mampu menyampaikan pesan yang kuat, menyentuh, dan mudah dipahami oleh siapa saja.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *