
Purwokerto — Di Indonesia, stigma sosial sering kali terbentuk akibat penilaian masyarakat yang terburu – buru. Fenomena ini tergambar jelas dalam pementasan drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya Arifin C. Noer, oleh Kelompok Teater Jagat Rasa Kelas A Pendidikan Bahasa Indonesia 2023. Pertunjukan digelar di Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman pada Rabu, 10 Desember 2025.
Drama tersebut mengisahkan seorang pemuda yang mengaku lupa membawa uang setelah memakan pecel di sebuah warung. Nenek pemilik warung menaruh kecurigaan, karena alasan serupa kerap digunakan oleh pelaku penipuan. Warga sekitar yang mengetahui kejadian tersebut kemudian menghakimi pemuda itu dan menyita bajunya sebagai jaminan.
Pemuda tersebut lantas menceritakan kisah hidupnya yang menyedihkan kepada nenek pemilik warung, sehingga menimbulkan rasa iba. Atas dasar belas kasihan, nenek pemilik warung akhirnya mengembalikan baju milik pemuda tersebut. Namun, pada keesokan harinya terungkap bahwa pemuda tersebut merupakan pelaku pencurian yang sebelumnya melarikan diri dari pasar di kampung sebelah.
Melalui dialog yang lugas dan alur cerita yang mengalir, penonton dapat merasakan intensitas konflik yang dibangun dalam pertunjukan. Penataan panggung dibuat secara minimalis dengan dominasi warna gelap, sehingga menghadirkan gambaran kehidupan masyarakat kecil yang apa adanya serta dekat dengan realitas sehari – hari. Reva, salah satu penonton, menilai bahwa cerita yang disajikan terasa dekat dengan kehidupan nyata dan mendorong penonton untuk kembali merefleksikan kebiasaan menilai seseorang secara terburu – buru. Akting para pemain dinilai mampu membangun refleksi mendalam sepanjang pementasan berlangsung.
Fenomena stigma prematur atau pandangan negatif ini selaras dengan teori labeling Howard Becker, di mana pelabelan negatif seperti “penipu” mendorong perilaku menyimpang lebih lanjut. Melalui pementasan ini, khalayak diajak untuk merenungkan bahaya tuduhan yang disampaikan secara tergesa -gesa, demi keadilan sosial yang lebih adil.
Editor: Arsa Rahman Hidayatulloh
