Pementasan teater Bayang di Balik Singgasana karya A.A. Navis yang dibawakan oleh kelas C menghadirkan cerita tentang kehidupan sosial yang dibentuk oleh sistem kasta. Lewat pertunjukan ini, penonton diajak melihat bagaimana perbedaan status memengaruhi cara seseorang diperlakukan, bahkan di dalam lingkup keluarga.
Pertunjukan tersebut digelar pada 12 Desember 2025 di Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya, dengan open gate pukul 18.00 WIB. Sejak awal pementasan, konflik antarkasta sudah terasa kuat melalui dialog dan interaksi antartokoh yang ditampilkan di atas panggung.
Nyoman digambarkan sebagai sudra yang hidup dengan serba batasan akibat sistem kasta yang mengikatnya. Ia harus menjaga sikap, menahan perasaan, dan menerima keadaan yang terus menempatkannya di posisi bawah. Dalam kesehariannya, Nyoman terbiasa mengalah, meskipun ketidakadilan selalu hadir dalam hidupnya.
Konflik semakin memuncak ketika terungkap bahwa Nyoman memiliki hubungan darah dengan tokoh kaum bangsawan. Fakta ini menjadi ironi, karena darah yang mengalir sama, tetapi perlakuan yang diterima sangat berbeda. Sistem kasta menjadi garis pemisah yang tegas antara keduanya.
Zelda, pemeran Nyoman, mengaku terkejut saat pertama kali mengetahui fakta tersebut.
“Jujur aku nggak nyangka sama sekali, rasanya campur aduk antara kaget, sedih, dan bingung,” ujar Zelda.
Meski dihadapkan pada kenyataan pahit, Nyoman tidak digambarkan berubah menjadi sosok yang penuh amarah. Ia justru tetap menerima keadaannya dengan sikap yang sabar dan tenang.
“Nyoman tetap jadi sosok yang sabar dan nggak pendendam, malah jadi lebih memahami alasan di balik sikap Gusti Biang,” jelas Zelda.
Pengungkapan asal-usul keluarga melalui tokoh Purbani menjadi salah satu bagian penting dalam cerita. Pada momen ini, Nyoman digambarkan tumbuh tanpa pernah mengetahui kebenaran tentang dirinya sendiri.
“Perasaan Nyoman di situ benar-benar campur aduk, tapi dia juga nggak bisa sepenuhnya menyalahkan siapa pun,” ungkap Zelda.
Dari sisi akting, Zelda menyebut tantangan terbesarnya adalah menjaga konsistensi sikap Nyoman sebagai kaum sudra. Setiap gestur, intonasi suara, dan ekspresi wajah harus mencerminkan sikap menahan diri.
“Nyoman harus selalu mengalah, menjaga perilaku, dan menahan perasaan, meskipun sebenarnya berat,” tuturnya.
Melalui karakter Nyoman, pementasan Bayang di Balik Singgasana memperlihatkan bagaimana sistem sosial yang tidak adil dapat membentuk kehidupan seseorang sejak awal, bahkan sebelum ia sempat menentukan pilihan atas hidupnya sendiri.
