Bayang di Balik Singgasana: Rahasia Kasta yang Terungkap di Panggung Sandiwara

Purwokerto–Lampu panggung perlahan meredup ketika jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB. Di tengah aula Bambang Lelono yang dipenuhi mahasiswa dan dosen, pameran penyutradaraan bertajuk Bayang di Balik Singgasana resmi dibuka. Malam itu, penonton tidak hanya disuguhi pertunjukan teater, tetapi juga diajak menyelami rahasia kelam yang tersembunyi di balik kemegahan kekuasaan.

Pertunjukan ini merupakan adaptasi dari karya I Putu Wijaya yang telah diolah ulang naskahnya. Meski mengalami perubahan, ruh cerita tetap kuat, kekuasaan yang tampak agung di luar, namun rapuh di dalam. Cerita berpusat pada sosok Gusti, perempuan bangsawan Bali dari kasta tertinggi, yang hidup dalam singgasana kehormatan dan status sosial.

Di balik kemewahan itu, Gusti memiliki seorang anak perempuan bernama Ida Ayu, nama yang sejak awal menandakan garis keturunan bangsawan. Berbanding terbalik dengan kehidupan Gusti, hadir tokoh Purbani, seorang pembantu rumah tangga dari kasta rendah, yang hidupnya nyaris tak terlihat dalam struktur sosial. Purbani memiliki seorang anak perempuan bernama Nyoman, yang sejak kecil telah dididik untuk melayani.

Konflik mulai menguat ketika pementasan mengungkap fakta yang selama ini disembunyikan, Ida Ayu dan Nyoman ternyata bukan sekadar majikan dan pembantu. Mereka adalah saudara kandung. Keduanya merupakan anak dari Purbani dan suami Gusti, seorang pahlawan dengan kasta tertinggi di Bali. Perselingkuhan itu menjadi luka yang dikubur rapi demi menjaga kehormatan singgasana.

Lewat dialog-dialog tajam dan penataan panggung yang simbolis, pertunjukan ini menyoroti bagaimana sistem kasta dan kekuasaan mampu menutupi kebenaran. Perempuan-perempuan dalam cerita menjadi korban dari sistem yang lebih mementingkan nama besar dibanding kejujuran dan keadilan.Pameran penyutradaraan ini tidak hanya menampilkan kemampuan teknis mahasiswa dalam mengolah naskah dan panggung, tetapi juga keberanian mereka mengangkat isu sensitif tentang kasta, patriarki, dan kemunafikan sosial.

Penonton tampak terdiam di beberapa adegan, seolah diajak bercermin pada realitas yang masih relevan hingga hari ini.Bayang di Balik Singgasana membuktikan bahwa panggung kampus bukan sekadar ruang pertunjukan, melainkan ruang kritik dan refleksi.

Di balik sorotan lampu dan gemuruh tepuk tangan, cerita ini meninggalkan pertanyaan: berapa banyak rahasia yang masih tersembunyi di balik singgasana kekuasaan?

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *