Bersila di Jagat Rasa, Bersela di Spektrum Waktu

PurwokertoDerap langkah terdengar pelan ketika satu per satu penonton memasuki ruang pertunjukan. Mereka tidak mencari kursi. Di lantai, orang-orang mengatur posisi, duduk bersila, saling mendekat agar tetap bisa menyaksikan panggung tanpa sekat. Beberapa masih berbincang lirih, sementara yang lain memilih diam, menunggu lampu benar-benar menyala. Di sinilah, Jagat Rasa 2025 bermula.

Penonton Jagat Rasa
(Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS)

Selama tiga hari, 10 hingga 12 Desember 2025, Gedung Bambang Lelono menjadi ruang bertemunya cerita, tubuh, dan perasaan. Pementasan drama berlangsung berdampingan dengan pameran fotografi bertajuk “Spektrum Waktu”. Dialog, gerak tubuh, dan cahaya hidup di satu ruang, sementara foto-foto menggantung tenang di sudut lain, menyampaikan makna tanpa suara.

Malam pertama dibuka dengan Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya Arifin C. Noer. Penonton datang dari berbagai latar, duduk berdesakan, seolah ikut masuk ke dalam dunia yang dipentaskan. Seorang mahasiswa mengaku kehadirannya tidak hanya didorong oleh kewajiban akademik. Rasa ingin tahu membawanya duduk bersila di antara penonton lain. “Selain kewajiban akademik, saya penasaran ingin melihat pentas dari kakak-kakak juga,” ujarnya.

Pertunjukan Hari Pertama
(Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS)

Cerita bergerak perlahan, namun menghantam. Kritik sosial hadir melalui percakapan sehari-hari para tokoh, tentang hidup yang sempit, pilihan yang terbatas, dan kebijakan yang kerap terasa jauh dari mereka yang harus menanggung akibatnya. Tidak ada teriakan berlebihan. Justru jeda dan keheningan di sela dialog membuat pesan itu terasa lebih dekat.

Potret Amelia Khairunnisa
Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS

Di balik pementasan tersebut, Amelia Khairunnisa berdiri sebagai sutradara. Ia memilih naskah yang menurutnya dekat dengan realitas sekitar. “Isinya tentang kehidupan sosial dan ekonomi yang sering kita temui,” tuturnya. Ia berharap penonton tidak berhenti pada tepuk tangan. “Kalau bisa sadar, ya sadar. Kalau bisa bersuara, ya bersuara. Jangan ikut yang buruk-buruk.”

Proses kreatif yang dijalaninya tidak selalu mulus. Ini adalah pengalaman pertamanya menyutradarai pementasan berskala besar. Ia harus mendampingi aktor, mengoordinasikan tim, sekaligus mengolah naskah satu babak yang menurutnya masih memiliki banyak ruang kosong. “Banyak dialog yang akhirnya kami kembangkan bersama,” katanya. Dari proses itu, ia justru menemukan kedekatan baru. “Saya jadi lebih mengenal teman-teman. Dari hal-hal yang dituduhkan, ternyata banyak pelajaran berharga.”

Pertunjukan Hari Kedua
Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS

Hari kedua menghadirkan Orang-Orang di Tikungan Jalan karya W.S. Rendra. Panggung menjelma potret kehidupan masyarakat pinggiran. Pengamen, penjual wedang kacang, pemabuk, pasangan kekasih, hingga anak-anak hadir silih berganti, membawa kisah tentang perjuangan, cinta, dan kerapuhan hidup kota. Para aktor menghidupkan dialog dan gestur sebagai suara-suara yang jarang mendapat ruang. Penonton yang duduk bersila seakan diajak berhenti sejenak, menengok realitas yang kerap terlewat, namun nyata adanya.

Pertunjukan Hari Ketiga
Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS

Pementasan ditutup pada hari ketiga melalui Bayang di Balik Singgasana karya Putu Wijaya. Ketegangan terasa sejak awal. Sosok Gusti Biang dan Nyoman bergerak dalam relasi kuasa yang timpang, dipenuhi amarah, luka lama, dan rahasia yang perlahan membuka diri. Ketika Gusti Biang memerintahkan Nyoman pergi, suasana ruang pertunjukan terasa semakin sempit, seolah tidak ada tempat aman baginya untuk bertahan. Nyoman memilih melangkah menuju desa, membawa kelelahan batin akibat perlakuan yang tak lagi sanggup ia terima.

Pertunjukan Hari Ketiga
Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS

Kepergian Nyoman justru membuka lapisan konflik lain. Kepulangan Ida Ayu, anak Gusti Biang, memunculkan pertanyaan tentang masa lalu yang selama ini disimpan rapat. Mbok, pelayan setia rumah itu, akhirnya mengungkap rahasiayang telah lama ia pendam. Pengakuan itu membawa cerita menuju kejutan yang membuat penonton terdiam. Tidak ada yang benar-benar lega, yang tersisa hanyalah perasaan terpana di ruang pertunjukan.

Pameran Fotografi
Sumber: Dokumentasi Pribadi NNS

Di sela-sela pementasan, “Spektrum Waktu” menjadi ruang jeda. Penonton melangkah perlahan, berhenti di depan foto-foto yang menggantung tanpa banyak keterangan. Setiap jepretan seakan berbicara sendiri, memberi makna tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Jagat Rasa 2025 berakhir penuh gegap gempita. Penonton bangkit dari posisi bersila mereka dan melangkah keluar dengan kepala penuh cerita. Selama tiga hari, ruang itu tidak hanya menjadi tempat pertunjukan, tetapi juga ruang pertemuan rasa: tentang manusia, tentang kehidupan, dan tentang hal-hal yang sering kali baru terasa setelah lampu panggung dipadamkan.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *