Novel Salt to the Sea terinspirasi dari tragedi terbesar dalam sejarah maritim. Sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 2016, Salt to the Sea menyuguhkan kengerian Perang Dunia II yang seakan-akan dapat dirasakan langsung oleh pembaca. Sebagai penulis fiksi sejarah, Ruta Sepetys mengajak pembaca menyelami lebih dalam kisah-kisah dramatis menggunakan gaya bercerita naratif dari tokoh anak-anak dan tokoh dewasa muda.
Pada tahun 1939 Jerman menginvasi Polandia, serta Uni Soviet pada tahun 1941. Invasi ini memicu serangan balik dari Uni Soviet pimpinan Joseph Stalin kepada Jerman yang dikuasai Hitler. Perang dunia II tidak hanya menjadi ajang konflik militer, tetapi juga menjadi sumber kesengsaraan jutaan orang. Tahun 1945 merupakan puncak Perang Dunia II. Lebih dari dua juta orang dievakuasi melalui Operasi Hannibal, evakuasi laut terbesar dalam sejarah modern.
Novel Salt to the Sea mengangkat tema bertahan hidup empat karakter utama yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda. Pembaca diajak untuk mengikuti perjalanan Joana, Florian, Emilia, dan Alfred yang berusaha melarikan diri dari kengerian yang mengancam mereka. Masing-masing tokoh mempunyai beban emosional dan trauma yang mendalam. Demi bertahan hidup, Joana melarikan diri dari Lituania, negaranya sendiri meninggalkan rumah dan seluruh keluarganya. Florian mencuri angsa amber sebagai bentuk balas dendam kepada Hitler. Emilia seorang gadis remaja Polandia, korban kekejaman pasukan Rusia, dan Alfred seorang pelaut angkatan laut Jerman yang narsistik.
Novel Salt to the Sea berfokus pada upaya empat tokoh utama dan para pengungsi untuk mencapai pelabuhan, di mana kapal Wilhelm Gustloff, yang seharusnya menjadi penyelamat, justru menjadi simbol dari tragedi yang lebih besar. Pada tanggal 30 Januari 1945, empat torpedo menunggu di dalam perut kapal selam Soviet S-13. Tiga torpedo diluncurkan, menghancurkan kapal Wilhelm Gustloff dan membunuh sekitar 9.000 orang. Korban jiwa tenggelamnya Wilhelm Gustloff melampaui Titanic dan Lusitania, menjadikan tragedi ini sebagai bencana paling mematikan dalam sejarah maritim. Ruta Sepetys menggambarkan dampak mendalam perang dan pengorbanan manusia, bagaimana keputusasaan dapat mendorong seseorang untuk melakukan apa saja demi bertahan hidup, mencari makan, tempat berlindung, menghindar dari tentara yang berkeliaran, hingga memperlihatkan pilihan-pilihan sulit yang harus diambil.
Melalui narasi yang penuh emosi, novel Salt to the Sea tidak hanya menjelaskan peristiwa tragis, tetapi juga menunjukkan kekuatan solidaritas kemanusiaan yang menumbuhkan cinta dan harapan bertahan di saat-saat paling kelam. Bagi pencinta sejarah, Salt to the Sea cocok dijadikan referensi bacaan untuk mengenang kembali, sekaligus sebagai pengingat tragedi-tragedi yang seringkali terlupakan.