Banjarnegara—Teriknya matahari di lapangan konstruksi, debu yang beterbangan, hingga riuh suara alat berat adalah keseharian Ir. Anggiani Retno Khoirunisyah, ST., IPP., seorang perempuan yang memilih jalan hidup di dunia yang didominasi kaum pria yaitu bidang konstruksi. Sejak sembilan tahun lalu, ia berkiprah di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), hingga kini dipercaya sebagai Ahli K3 Kemnaker dengan posisi Site QHSSE Manager PT Brantas Abipraya.
Perempuan yang akrab disapa Anggi itu mengaku kunci kariernya terletak pada tiga hal, “Tidak pernah berhenti belajar baik dari pendidikan formal maupun pengalaman orang lain. Hadapi setiap tantangan yang diberikan dengan amanah. Komunikasi yang baik kepada atasan dan tim. Tapi selebihnya doa orang tua,” ucapnya dengan senyum tipis yang sarat keteguhan.
Anggi mengakui dunia K3 konstruksi memberinya banyak pengalaman berkesan. “Bisa keliling Indonesia, hidup di berbagai daerah dan berkenalan dengan orang di berbagai suku,” katanya. Namun, pengalaman yang paling melekat justru hadir di proyek-proyek yang penuh tantangan.
Salah satunya adalah proyek irigasi di Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Anggi menceritakan kesulitan akses menuju lokasi. “Perjalananya cukup jauh dari bandara dan susah sinyal,” katanya. Namun tantangan sebenarnya bukan hanya perjalanan. Ia menambahkan “Secara pekerjaan proyek irigasi Toli-Toli merupakan proyek terbesar perusahaan saat itu dan pekerjaan dilaksanakan di jalan aktif area kawasan berikat negara yang akan terkoneksi dengan Tol Cibitung Tanjung Priok dan pelabuhan kalibaru. Di mana lokasi Tanjung Priok dikenal dengan area tingkat premanisme yang cukup tinggi.”
Menghadapi situasi seperti itu, ia belajar satu hal penting, “Self-control untuk bisa menghadapi dan berkomunikasi dengan seluruh stakeholder baik instansi maupun masyarakat sekitar. Selain, menjadi personil yang ada di proyek terbesar akan menjadi sorotan sehingga harus mau dan bisa menjalankan amanah dengan sempurna dan detail dalam setiap pekerjaan atau pengambilan keputusan.”

Sebagai pengawal keselamatan di proyek-proyek raksasa, Anggi menghadapi tantangan khas dunia konstruksi. “Menghadapi tenaga lapangan dengan pendidikan rata-rata SD SMP sehingga kurang paham mengenai pentingnya K3. Kebutuhan K3 yang masih dianggap tidak menguntungkan (tidak komersil). Kurangnya ketegasan dari manajemen utama,” jelasnya.
Anggi menyatakan bahwa saat ini ia tengah mengerjakan Proyek New Priok Eastern Acces Section 1. Pada proyek New Priok Eastern Acces Section 1, ia menyebut beberapa kendala yang muncul. “ Yang pertama Traffic, solusinya dengan koordinasi dan sosialisasi dengan seluruh stakeholder yang terlibat untuk pembuatan traffic management. Kedua penggunaan alat launcher girder yang melintang di jalan marunda tanpa pier, solusinya berdiskusi dengan tim ahli. Ketiga tingkat premanisme di wilayah Tanjung Priok, solusinya yaitu dengan koordinasi keamanan dengan Tim Pasukan Marinir, kepolisian setempat,” jelasnya.

Keselamatan di lapangan selalu di ujung tanduk. Ia pernah menghadapi insiden mendesak (near miss/kecelakaan) yang nyaris fatal. “Kejadiannya yaitu tanah yang tercecer dan tidak dibersihkan, hal ini dapat berbahaya bagi pengendara di jalan umum. Penanganannya kami melakukan pemberhentian pekerjaan, evaluasi, jika sudah aman, pekerjaan bisa dimulai kembali. Saya juga mendapatkan pelajaran penting yaitu pemilihan vendor harus dengan seleksi yang ketat, penandatanganan surat pernyataan kesanggupan SOP, dan pembuatan reward punishment,” ungkapnya.
Menurutnya, titik paling rawan justru muncul saat proyek memasuki masa puncak. “Ketika masa peak atau puncak pekerjaan/target tinggi. Sebelum pekerjaan dilakukan selalu dilaksanakan pekerjaan oleh tim medis/perawat untuk memastikan pekerja dalam kondisi sehat dan aman untuk bekerja. Memastikan pekerja menggunakan APD dan memasang APK,” jelasnya.
Anggi menekankan bahwa pendekatan humanis sangat diperlukan untuk mengedukasi pekerja tentang K3 terutama di bidang konstruksi ini, “Bidang konstruksi merupakan industri yang memiliki SDM dengan pendidikan tertinggi dan terendah. Hal ini sudah menjadi hal umum. Sehingga program kerja yang dibuat memang harus sudah mendukung sosialisasi dan edukasi yang dapat memberikan pemahaman keselamatan dan kesehatan bagi seluruh pekerja. Kita harus menyadari bahwa ada keluarga yang menunggu kita pulang dengan selamat, bukan hanya menunggu uang kita,” jelasnya.

Dengan pengalaman sembilan tahun di bidang K3, ia tahu betul bahwa keselamatan kerja bukan sekadar aturan tertulis, melainkan persoalan hidup dan mati.
Baginya, semua area konstruksi membutuhkan pengawasan. Namun, ada pekerjaan tertentu yang jauh lebih berisiko. Ia menyebut contoh spesifik, “Seluruhnya membutuhkan pengawasan K3. Namun, memang ada pekerjaan tertentu yang membutuhkan SOP khusus, yaitu pekerjaan di area terbatas (confined space), contohnya pekerjaan di dalam pipa, atau pekerjaan risiko tinggi seperti bekerja di ketinggian (working at height).” Dalam kondisi seperti ini, detail prosedur bukanlah pilihan, tetapi harga mati.
Namun, kenyataan di lapangan tak selalu mulus. Meski regulasi sudah ketat, pelanggaran prosedur masih sering terjadi. Anggi menjelaskan dengan jujur, “Pekerja tidak mau ribet. Pekerja belum terbiasa dengan peraturan. Pekerja belum paham dan peduli. Target pekerjaan yang tinggi.” Tantangan inilah yang membuatnya harus mengatur strategi komunikasi, tak hanya kepada pekerja, tetapi juga ke jajaran manajemen dan subkontraktor.
Anggi menjelaskan bahwa jika terjadi risiko besar saat pengerjaan proyek, ia harus langsung berkomunikasi dengan pekerja yang bersangkutan, namun jika hal itu masih berulang (pekerja tidak mengindahkan teguran), tim mainkon membuat surat yang ditujukan kepada atasan/pimpinan kerja masing-masing. Misalnya, jika dia merupakan subkon pekerjaan bisa disampaikan surat teguran kepada direktur/pimpinan tertinggi perusahaan tersebut untuk menindaklanjuti sesuai kesepakatan awal. Ia menambahkan bahwa cara untuk mengkomunikasikannya yaitu melalui telepon terlebih dahulu, jika belum ada perubahan teguran dilakukan secara tersurat dengan menyertakan dokumentasi pelanggaran.
Menjaga motivasi dan kepatuhan ratusan pekerja lapangan terhadap standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan perkara mudah. Untuk menjaga kesadaran dan kepatuhan setiap hari, menurut Mba Anggi kegiatan komunikasi menjadi kunci. “Melakukan kegiatan sosialisasi/promosi harian lewat Toolbox meeting setiap pagi, Safety Talk setiap minggu, dan pemberian reward setiap bulan.” Dengan rutinitas ini, pesan keselamatan diulang-ulang dan ada insentif konkret bagi perilaku yang sesuai standar.

Meskipun begitu kecelakaan kerja tetap mungkin terjadi. Menurutnya, setiap insiden harus dikategorikan dan ditangani secara berbeda. “Kecelakaan itu ada tingkatannya ada major ada minor. Kalau minor/tidak hilang hari kerja/tidak menyebabkan cacat total atau sebagian/tidak fatality, dan bisa ditangani dengan P3K saja itu cukup dibuatkan berita acara kejadian dan evaluasi lalu disampaikan dalam kegiatan toolbox meeting untuk menjadi pelajaran bersama. Namun, apabila terjadi kecelakaan major atau yang menyebabkan hilangnya waktu kerja/cacat total atau sebagian dan bahkan fatality serta menimbulkan kerugian besar terhadap lingkungan dan asset, penanganannya pekerjaan diberhentikan sementara hingga kronologi kejadian terpecahkan. Tim HSE melapor kepada BPJS ketenagakerjaan, kepolisian setempat, kantor pusat dan stakeholder terkait mengenai kejadian tersebut, pekerjaan dapat dimulai kembali ketika semua telah evaluasi atau di audit bahkan pembaharuan SOP.” Penegasan Anggi menunjukkan bahwa untuk kejadian serius, perusahaan menerapkan proses yang transparan dan melibatkan pihak eksternal serta menempatkan keselamatan di atas kelanjutan produksi sampai evaluasi menyeluruh selesai.
Terkait kepatuhan pekerja, Anggi menilai sanksi dan edukasi punya peran berbeda serta penilaian terhadap hasilnya. “Efektivitas sanksi administratif itu bersifat jangka pendek karna langsung terasa dampaknya, misalnya penurunan pendapatan. Sementara edukasi dan insentif itu bersifat jangka panjang, karena efeknya baru terasa ketika hal tersebut diulang. Mengingat membangun kesadaran dan budaya tidak mudah,” ujarnya. Menurutnya, kombinasi keduanya diperlukan karena sanksi memberi dampak yang cepat, sementara edukasi dan insentif membangun budaya keselamatan yang tahan lama.
Anggi juga membantah mitos umum yang acap kali berkembang di lapangan/masyarakat, “Kecelakaan kerja merupakan nasib atau takdir. Padahal yang perlu diketahui dan dipahami bersama, kecelakaan itu dapat timbul karena adanya akibat mulai dari kesalahan manusia ataupun sistem. Contohnya saja kecelakaan lalulintas jika di root cause pasti ada faktor manusia misal mengantuk atau belum lihai berkendara, faktor mesin misal rem blong atau over capasity, kesalahan sistem misal mudah membuat SIM tanpa test.” Penjabaran ini menekankan pentingnya pendekatan berbasis penyebab (root cause) agar kebijakan pencegahan bisa lebih tepat sasaran.

Dari pengalaman menangani insiden dan hampir celaka (near miss), satu pembelajaran penting yang dibagikan Anggi adalah perlunya mencatat dan mengevaluasi near miss.
“Mungkin gini ya, banyak industri termasuk konstruksi ini selalu fokus pada perbaikan/tindakan kuratif ketika sudah celaka, sering sekali near miss itu diabaikan/tidak pernah dihitung. Padahal penyebab kecelakaan besar itu karna near miss yang diabaikan dan tidak dievaluasi. Sehingga, menurut saya penting sekali mencatat dan mengevaluasi nearmiss. Agar hasil evaluasi bisa disampaikan kepada karyawan/pekerja sesuai dengan bahaya pekerjaan masing-masing,” ujarnya. Catatan Anggi menegaskan bahwa pencegahan proaktif, bukan reaktif, akan mengurangi kejadian besar di masa depan.
Tentang peran teknologi, Anggi mengakui manfaatnya namun juga keterbatasan implementasinya saat ini. “Untuk IoT paling dipakai di alat berat ya belum sampai ke hal-hal kecil seperti APD APK atau realtime report/inspection, kalau drone sesekali dipakai untuk inspeksi di pekerjaan ketinggian misalnya untuk melihat apakah seluruh pekerja tetap menggunakan APD yang semestinya dan mengaitkan bodyharness pada angkurnya atau tidak, keduanya cukup membantu,” jelasnya.
Dengan kata lain, teknologi seperti IoT dan drone memperkuat pengawasan, terutama untuk alat berat dan inspeksi area berisiko, namun penerapan menyeluruh pada aspek kecil seperti kontrol APD masih terbatas.
Untuk peningkatan budaya K3 secara nasional, Anggi memberi masukan agar pengawasan dan sertifikasi tidak hanya sekadar formalitas tetapi wajib, agar keselamatan dan kesehatan pekerja berjalan dengan baik. Anggi juga menyebutkan target nyata untuk dua belas bulan mendatang untuk proyeknya, “Kalo target si tetap Zero Accident dan untuk mencapai itu program-program yang ada harus didukung oleh manajemen, pekerja dan seluruh stakeholder. Terkait pencapaian, kita selalu membuat laporan berkala baik harian, mingguan, bulanan, semester,” jelasnya.
Anggi juga menyampaikan pesan kepada pekerja lapangan, pihak terkait K3, dan pembuat kebijakan untuk kebaikan dan kelancaran pekerjaan agar menghindari insiden yang tidak diinginkan. “Kepedulian bersama untuk terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat, karena bekerja bukan soal materi saja tapi juga asset jangka panjang yaitu tubuh yang sehat,” pesannya dengan penuh ketulusan. Pesan itu menjadi pengingat bahwa investasi terbesar di dunia kerja bukanlah asset fisik semata, melainkan kesehatan dan keselamatan pekerja, merupakan modal utama agar proyek berjalan lancar dan berkelanjutan.