
Dokumentasi Pribadi
Wonosobo—Matahari baru saja muncul di balik Gunung Sindoro ketika suara riuh masyarakat mulai memenuhi Lapangan Ronggolawe, Kembaran, Kalikajar. Di antara aroma tanah basah dan semarak Idulfitri, puluhan balon berwarna-warni perlahan dibentangkan. Tradisi yang telah mengakar puluhan tahun ini kembali digelar; festival balon tradisional yang selalu dinanti setiap musim Lebaran.
Festival ini menampilkan sekitar 100 balon tradisional khas Wonosobo, balon yang dibuat dari kertas dengan berbagai bentuk, ukuran, dan corak, hasil tangan kreatif warga setempat.
Bagi masyarakat Kembaran, festival ini bukan sekadar hiburan tahunan. Ia adalah warisan budaya, kebanggaan, dan perekat hubungan sosial. Sejak hari kedua hingga hari kelima Idulfitri, udara desa seakan berubah menjadi panggung perayaan budaya. Balon-balon bercorak batik khas Kembaran tampak bersaing menembus langit, memanjakan mata ribuan pasang mata yang datang dari berbagai penjuru.
“Festival ini sudah ada sejak dulu. Kembaran juga termasuk pelopor balon udara, meskipun dulu belum seramai dan seviral sekarang,” ungkap Anna, salah satu warga sekaligus peserta festival balon.
Tradisi ini terselenggara berkat kerja sama Pemerintah Desa dan panitia yang berasal dari perwakilan setiap RT. Sementara itu, masyarakat yang tidak menjadi panitia justru mengambil peran sebagai peserta lomba pelepasan balon antar-RT. Bagi mereka, bukan hanya kemenangan yang dikejar, tetapi kebanggaan melihat hasil karya mengudara dengan gagah.
Rangkaian acara berlangsung semarak mulai dari pembukaan, pelepasan balon, pertunjukan budaya, hingga kegiatan interaktif bagi pengunjung. Menjelang akhir festival, panitia mengumumkan pemenang lomba dan membagikan doorprize untuk para pengunjung menambah meriah suasana Lebaran.
Di balik kemegahannya, balon tradisional Kembaran memiliki ciri khas yang membedakannya dari balon daerah lain maupun mancanegara. “Keunikannya mungkin dari segi bentuk dan corak batiknya. Kertasnya disusun, bukan ditempel, jadi motifnya lebih rapi dan artistik. Ditambah pemandangan Gunung Sindoro–Sumbing membuat daya tariknya jauh lebih besar,” jelas Anna.
Namun, keindahan tersebut tidak mengabaikan aspek keselamatan. Aturan ketat diterapkan agar balon tidak terbang bebas dan mengganggu jalur penerbangan pesawat. “Mekanisme pelepasan harus sesuai aturan, jadi balon wajib ditambatkan. Polisi juga langsung mengawasi. Pelepasan paling tepat dilakukan pagi hari karena kalau sudah siang anginnya kencang dan bisa merobek balon,” tambahnya.
Di antara riuh tawa penonton dan dentuman musik tradisional, kehadiran festival ini memberi keteduhan batin bagi masyarakat setelah satu tahun penuh aktivitas. Tradisi ini bukan hanya perayaan Idulfitri, tetapi juga wujud kecintaan terhadap budaya dan strategi mempertahankan identitas lokal di tengah arus modernisasi.
Setiap kali balon mengudara, ada harapan yang ikut terbang, harapan agar tradisi ini terus bertahan, menjadi cerita yang selalu diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selama balon-balon itu masih menghiasi langit Kembaran setiap Lebaran, budaya akan terus hidup dan kenangan Lebaran di desa ini akan selalu berbeda dari tempat lainnya.
Editor: Yusfi Sofiyatul Azmi
