Goresan Garis Budyono Menembus Pasar Internasional

PELUKIS

Foto : (dokumentasi Pribadi: Budyono)

Bali – Bagi sebagian orang, seni lukis biografis sering kali dianggap sempit dan terbatas pada wajah atau kisah hidup seseorang. Namun bagi Budyono (61), seniman asal Indonesia yang telah berkarya sejak 1989, seni tidak mengenal batas. “Tidak ada perbedaan antara pelukis biografis dengan aliran lain. Seni itu bebas. Saya pun banyak melukis abstrak karena tuntutan pasar,” ujarnya.

Perjalanan seni Budyono dimulai dari Pasar Seni Ancol, tempat ia menimba pengalaman dan belajar memahami dinamika seni rupa. Dari sana, ribuan karyanya lahir, sebagian besar justru diminati kolektor mancanegara. Dari sana ia belajar memahami perkembangan seni rupa hingga akhirnya menghasilkan ribuan karya yang sebagian besar berhasil menembus pasar luar negeri. “Di Indonesia, karya saya masih sering disepelekan. Banyak yang bilang, ‘lukisan apa sih itu?’ Karena selera masyarakat lokal cenderung lebih suka yang realis. Justru orang luar negeri yang lebih menghargai karya abstrak saya,” tuturnya.

Nama Budyono mulai dikenal di luar negeri sejak 1994. Karya-karyanya dikirim secara rutin ke Malaysia, Singapura, Prancis, Amerika Serikat, Denmark. “Lima negara itu bahkan berlangganan karya saya sampai tiga tahun,” katanya bangga.

Dalam setiap karyanya, garis menjadi elemen utama. Bagi Budyono, garis bukan sekadar bentuk visual, melainkan identitas. “Karakter saya ada di garis. Itu menjadi sentuhan personal sekaligus ciri khas . Walaupun abstrak, tetap ada ruh biografis yang saya selipkan,” ungkapnya.

Foto : (dokumentasi Pribadi: Budyono)

Namun, perjalanan sebagai pelukis tidak selalu mulus. Tantangan terbesar justru datang dari pasar. “Sebagus apapun sebuah karya, kalau pasar tidak suka, tidak akan terjual. Tantangannya bukan pada seni, melainkan bagaimana karya bisa diterima,” tegasnya.

Meski begitu, Budyono terus berusaha memberi pesan penting tentang apresiasi seni. “Menghargai seni bisa dilakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan tidak menyepelekan karya. Orang yang tidak memahami seni biasanya cenderung meremehkan . Padahal seni itu nyata,hidup, dan memiliki makna” ucapnya.

Kiprahnya di dunia seni rupa juga tercermin dari berbagai pameran bergengsi yang pernah diikutinya, antara lain Group Exhibitions in Hotels of Bali (1991–1993), Tata Ubud (1994), Museum Neka (1996), dan Candra Gallery Ubud (1997).

Kini, di usianya yang ke-61, Budyono tetap konsisten berkarya. “saya berharap generasi muda tidak hanya memandang seni sebagai hobi, melainkan juga sebagai jalan hidup yang layak dihargai. Kalau orang luar negeri bisa mengapresiasi, kenapa kita tidak?” pungkasnya.

Editor: Nasya Ramadhani

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *