Ruwatan Rambut Gimbal Dieng: Tradisi Sakral yang Terus Hidup dan Menggait Wisatawan

Purwokerto – Tradisi ruwatan rambut gimbal anak bajang kembali menjadi daya tarik utama dalam gelaran Dieng Culture Festival (DCF) pada Minggu, 24 Agustus 2025 di kawasan Candi Arjuna, Banjarnegara. Ribuan pengunjung memadati lokasi untuk menyaksikan prosesi sakral yang dipercaya sebagai penyucian sekaligus penanda perubahan hidup anak bajang. Kehadiran Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) serta Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi semakin menambah perhatian publik pada ritual budaya khas Dieng tersebut.

Antusiasme wisatawan terlihat dari banyaknya pengunjung yang mengikuti jalannya ritual, terutama saat pemenuhan permintaan khusus dari anak bajang seperti sepeda lipat, gawai, dan makanan tradisional. Masyarakat setempat meyakini bahwa permintaan tersebut harus dipenuhi agar proses ruwatan berjalan lancar dan memberikan ketenangan bagi sang anak. Pemerintah daerah menilai tradisi ini memiliki nilai spiritual sekaligus potensi besar sebagai daya tarik wisata budaya berskala internasional.

Dikutip dari Suara Merdeka, salah satu momen yang menarik perhatian adalah ketika anak bajang bernama Faedza Ahmad Al-Afghani (7) meminta sebuah mobil remote control sebagai syarat sebelum rambut gimbalnya dipotong. AHY dan Gubernur Luthfi memenuhi permintaan tersebut, sehingga prosesi berjalan khidmat sekaligus hangat. Momen itu menjadi sorotan karena memperlihatkan kedekatan pemimpin daerah dengan masyarakat dalam suasana budaya yang penuh nilai tradisi.

Tradisi ruwatan rambut gimbal menunjukkan bagaimana masyarakat lokal mampu menjaga nilai-nilai leluhur sambil tetap menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Ritual yang dulunya bersifat sakral dan terbatas kini berkembang menjadi atraksi budaya yang mendidik sekaligus memperkuat identitas daerah. Fenomena ini menggambarkan bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan juga sarana membangun kebanggaan kolektif serta daya tarik wisata yang berkelanjutan.

Salah satu mahasiswa yang pernah turut menyaksikan jalannya ruwatan menilai tradisi tersebut sangat penting untuk dipertahankan. “Menurut saya, tradisi ini bukan hanya menarik sebagai tontonan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai budaya yang mulai jarang ditemui. Saya merasa pengalaman ini membuka wawasan tentang bagaimana masyarakat lokal menjaga identitasnya,” ujar Dewi Kurnia Sari, mahasiswa Universitas Negeri Semarang.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *