Wanto Tirta, Presiden Geguritan Banyumas yang Menghidupkan Sastra Daerah

Banyumas – Wanto Tirta, seorang penyair sekaligus pegiat seni asal Banyumas, dikenal luas sebagai “Presiden Geguritan Banyumas” berkat dedikasinya dalam melestarikan dan memperbarui tradisi sastra Jawa. Sejak tahun 1994 ia aktif menulis geguritan dan puisi di berbagai panggung seni, sekolah, hingga festival budaya, demi menjaga bahasa Banyumasan tetap hidup di tengah derasnya arus modernisasi. Melalui karya, workshop, dan media sosial, ia mengajak generasi muda mencintai sastra daerah.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Julukan Presiden Geguritan melekat padanya sejak sebuah acara pernikahan keluarga Ahmad Tohari diliput media. Dalam berita itu, ia disebut sebagai “Presiden Geguritan Wanto Tirta.” Gelar ini kemudian menjadi simbol tanggung jawab besar untuk terus memperjuangkan geguritan Banyumasan.

Lahir dan besar di Kracak, Banyumas, dari keluarga sederhana, Wanto tumbuh dengan semangat kerja keras. Sepuluh tahun ia mengabdi sebagai penyiar radio swasta di Ajibarang sambil aktif dalam teater dan ketoprak. Pengalaman itu memperkaya gaya artistiknya yang kemudian tercermin dalam karya-karya geguritan dan puisinya.

Sebagai pelopor geguritan penginyongan (gegugritan dengan dialek Banyumas), Wanto menghidupkan kembali tradisi dengan sentuhan modern. Ia juga menulis berbagai karya penting, di antaranya Brengkesan Geguritan Penginyongan Nonton Ronggeng, Parikan Inyong Indonesia, Catatan 1000 Hujan (Peraih Penghargaan Sastra Tama 2022), dan Pelajaran Ajar Basa Jawa Penginyongan Kelas 5 SD.

Kiprahnya tidak berhenti di dunia kepenulisan. Wanto aktif di Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (2015–2024), Komite Seni Budaya Nusantara Jawa Tengah (2017–2022), dan berbagai komunitas sastra seperti Puisi Menolak Korupsi serta Komunitas Sastra Pinggiran. Ia juga mendirikan Teater Gethek sebagai ruang berkarya bagi seniman lokal.

Atas dedikasinya, Wanto Tirta menerima berbagai penghargaan, termasuk “Gatra Budaya 2015,” juara lomba puisi tingkat nasional, hingga penghargaan Prasida Tama dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Meski begitu, ia tetap rendah hati. “Bagi saya, geguritan bukan sekadar seni, tapi cara menjaga jati diri dan kearifan lokal,” tuturnya.

Sebagai tokoh yang ramah dan sederhana, Wanto memiliki cara unik menarik minat generasi muda: mengemas geguritan dengan tema sehari-hari, lomba kreatif, hingga tampil di media sosial. Ia percaya sastra tidak boleh hanya hidup di buku, melainkan juga di panggung, media digital, dan kehidupan sehari-hari.

“Anak muda jangan malu dengan bahasa dan budaya daerah. Justru dari situlah identitas kita tumbuh,” pesannya.

Dengan semangat “Bismillah, mengalir sampai jauh,” Wanto Tirta terus membuktikan bahwa sastra daerah bukan warisan yang usang, melainkan napas budaya yang relevan di masa kini.

Editor: Zia Indra Aulia Sundari

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *