Kedungbanteng, 12 Oktober 2024 – Puasa mutih, tradisi yang dahulu menjadi bagian penting dari persiapan pernikahan bagi calon pengantin wanita di Desa Dawuhan Kulon, kini mulai jarang dilakukan. Meskipun ritual ini dipercaya membawa ketenangan jiwa dan membuat calon pengantin terlihat lebih mempesona, banyak yang merasa bahwa puasa mutih terlalu berat untuk dijalani.
Liana, yang pernah menjalankan puasa mutih selama tiga hari menjelang pernikahannya, mengakui manfaat spiritual dan fisik dari tradisi ini, termasuk perasaan “manglingi” atau terlihat lebih cantik saat menikah. Namun, ia juga menyadari tantangan besar yang dihadapi calon pengantin wanita dalam menjalani puasa tersebut.
“Tradisi ini memang membawa ketenangan dan kecantikan alami, tapi banyak yang merasa tidak kuat karena terlalu berat. Beberapa calon pengantin bahkan sempat pingsan saat menjalani puasa mutih karena hanya mengonsumsi nasi putih dan air tawar selama beberapa hari,” ujar Liana.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak calon pengantin yang memilih tidak menjalankan puasa mutih, karena khawatir tidak kuat secara fisik atau mengalami kelelahan yang berlebihan. Meskipun tradisi ini masih dihormati, praktiknya kini lebih jarang dilakukan, terutama di kalangan generasi muda yang lebih mementingkan kesehatan fisik menjelang hari pernikahan.
Tradisi puasa mutih, yang dulunya menjadi simbol kesucian dan persiapan batin, kini menghadapi tantangan di era modern, di mana kesehatan dan kenyamanan lebih diutamakan. Namun, bagi mereka yang masih melaksanakannya, puasa mutih tetap dianggap sebagai sarana penyucian diri dan pemberian berkah dalam kehidupan pernikahan.