drg. Ratna Irawati: Jaga Kesehatan Gigi Sejak Dini, Jangan Tunggu Sakit

PURWOKERTO – Banyak masyarakat baru memeriksakan gigi ke dokter setelah rasa sakit tak tertahankan. Menurut drg. Ratna Irawati, kerusakan gigi tidak bisa diperbaiki secara instan, terutama jika sudah mengenai saraf. Ia menegaskan pentingnya menjaga kesehatan gigi sejak kecil karena gigi yang rusak tidak dapat pulih seperti organ tubuh lainnya.

drg. Ratna Irawati (Foto: dokumentasi pribadi)

Ratna, lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (UGM). Mengaku bahwa kedokteran gigi bukanlah pilihan utamanya ketika menempuh pendidikan tinggi. “Dulu saya sebenarnya ingin masuk teknik karena suka hal-hal teknis. Tapi ternyata yang diterima justru kedokteran gigi. Awalnya dijalani saja, tapi lama-lama saya menemukan banyak hal menarik di dalamnya,” kenangnya. Ia menjelaskan bahwa profesi dokter gigi merupakan perpaduan antara ilmu pengetahuan, seni, dan teknik. Menurutnya, kedokteran gigi memiliki sisi ilmiah yang kuat, tetapi juga menuntut ketelitian estetika saat membentuk tambalan atau membuat gigi palsu agar tampak alami. Di sisi lain, dibutuhkan pula kemampuan teknis dalam memahami struktur serta gerakan gigi.

Dalam praktiknya, Ratna sering menemui pasien dengan kondisi gigi yang sudah rusak parah. Padahal, kerusakan sebenarnya bisa dicegah melalui pemeriksaan rutin. Ia menjelaskan bahwa kemajuan teknologi kini memungkinkan gigi rusak tetap dipertahankan tanpa perlu dicabut. “Perawatan akar, misalnya, bisa menyelamatkan gigi depan yang rusak agar tetap berfungsi dan terlihat alami,” jelasnya.

Kebiasaan menunda berobat menurutnya, masih menjadi masalah klasik di masyarakat. Biaya perawatan lebih besar dibandingkan jika pencegahan dilakukan sejak dini. Selain itu, sakit gigi dapat menurunkan produktivitas karena menimbulkan rasa tidak nyaman. Ratna mengingatkan pentingnya melakukan kontrol rutin ke dokter gigi setiap enam bulan sekali. Pemeriksaan berkala dapat menghemat biaya sekaligus mencegah penyakit mulut yang lebih serius. “Gigi yang sehat mendukung kualitas hidup seseorang. Kalau sakit gigi, makan susah, tidur susah, kerja pun jadi tidak fokus,” ujarnya.

Ratna menekankan pentingnya pendidikan kesehatan gigi sejak dini. Anak-anak sebaiknya dikenalkan ke dokter gigi sejak usia dua setengah hingga tiga tahun, ketika gigi sudah tumbuh lengkap dan anak mulai bisa diajak berkomunikasi. Ia menambahkan, peran ibu sangat penting dalam membentuk kebiasaan tersebut. “Bahkan sejak hamil, ibu sudah harus paham cara menjaga kebersihan gigi supaya bisa menularkan kebiasaan itu pada anak,” katanya.

Selain edukasi, Ratna mengingatkan bahwa kebiasaan sehari-hari juga dapat memengaruhi kesehatan gigi. Konsumsi makanan atau minuman manis tanpa membersihkan gigi dengan benar, menunda waktu menyikat gigi, dan teknik menyikat yang salah penyebab paling umum kerusakan gigi. Ia menjelaskan, cara menyikat gigi yang benar harus mengenai seluruh permukaan gigi, dilakukan dari arah atas ke bawah untuk gigi depan dan dari belakang ke depan untuk bagian geraham, setidaknya selama satu menit.

Tren perawatan estetika seperti bleaching dan veneer juga menjadi perhatian khusus bagi Ratna. Menurutnya, tindakan tersebut boleh dilakukan asalkan pasien memahami risikonya. “Bleaching itu proses kimiawi yang mengangkat warna dari pori-pori gigi, sedangkan veneer bersifat mekanik karena permukaan gigi dikikis dulu sebelum dilapisi bahan baru,” jelasnya. Veneer dapat memperbaiki warna dan bentuk gigi, tetapi enamel yang sudah dikikis tidak bisa dikembalikan lagi. Karena itu, ia menyarankan agar pasien berdiskusi dengan dokter terlebih dahulu sebelum memutuskan melakukan perawatan estetika.

Ia menjelaskan bahwa perkembangan teknologi kedokteran gigi kini sangat pesat. Jika dulu alat dan bahan masih terbatas, kini sudah tersedia teknologi digital, implan gigi, hingga perawatan modern lain yang lebih presisi. Kesadaran masyarakat pun meningkat; jika dulu sakit gigi langsung dicabut, kini semakin banyak yang memilih mempertahankan giginya.

Ratna mengingatkan bahwa kerusakan dan penyakit gigi terjadi melalui proses panjang akibat kebiasaan buruk yang tidak disadari. Karena itu, kebiasaan menjaga kebersihan gigi sebaiknya diajarkan sejak dini di lingkungan keluarga oleh orang tua. “Gigi yang sehat mendukung senyum dan kepercayaan diri kita,” ujarnya.

Bagi Ratna Irawati, kebahagiaan terbesar dalam profesinya adalah ketika melihat pasien kembali tersenyum dengan percaya diri setelah menjalani perawatan. “Ketika pasien puas dan merasa terbantu, rasanya semua lelah terbayar,” pungkasnya dengan senyum hangat.

Editor: Himawan Andi Rozak

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *