(Dokumentasi Pribadi)
Fenomena diet ekstrem yang marak beredar di media sosial kini menjadi perhatian serius para ahli kesehatan. Tidak sedikit masyarakat, terutama remaja dan dewasa muda, tergoda mengikuti pola diet yang menjanjikan penurunan berat badan secara cepat tanpa memahami dampak kesehatannya.
Menurut ahli gizi Nadiatul Husniyah Sholhan, kelompok usia muda merupakan yang paling rentan terpengaruh tren diet ekstrem. Karena mereka aktif di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, yang sering menampilkan konten bertema diet instan dari figur publik atau influencer.
“Banyak remaja mengikuti tren diet hanya karena terinspirasi selebritas favoritnya, tanpa tahu apakah metode itu aman atau tidak untuk tubuh mereka,” jelas Nadiatul Husniyah Sholhan saat diwawancarai.
Ia menuturkan, beberapa jenis diet yang tengah populer antara lain Intermittent Fasting (IF), diet keto, dan diet rendah karbohidrat. Secara ilmiah, pola makan tersebut bisa dilakukan dengan benar, namun menjadi berbahaya jika dijalankan secara berlebihan atau tanpa bimbingan ahli.
“Misalnya, Intermittent Fasting aman jika dilakukan selama 14 hingga 16 jam. Tapi ketika durasinya melebihi 24 jam tanpa asupan sama sekali, tubuh bisa kekurangan energi dan akhirnya kolaps,” paparnya. Hal serupa juga terjadi pada diet keto. Nadiatul Husniyah Sholhan mengingatkan agar sumber lemak yang dikonsumsi berasal dari bahan sehat seperti alpukat atau minyak zaitun, bukan dari gorengan yang justru dapat memicu gangguan metabolik.
Tak hanya itu, ia menyoroti banyaknya klaim diet yang menjanjikan penurunan berat badan 5–6 kilogram dalam seminggu. Menurutnya, klaim tersebut tidak realistis dan justru berisiko menimbulkan stres metabolik. Penurunan berat badan yang ideal dan aman seharusnya berkisar 0,5–1 kilogram per minggu. Selain itu, masyarakat diminta peka terhadap sinyal tubuh selama menjalani diet. Gejala seperti lemas, gemetar, sulit fokus, atau sembelit bisa menjadi tanda bahwa tubuh kekurangan nutrisi penting, terutama glukosa. “Kesadaran seharusnya muncul sebelum memulai diet. Jangan asal ikut-ikutan tren tanpa memahami dasar ilmiahnya,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat memperoleh informasi gizi dari sumber terpercaya seperti ahli gizi, dokter gizi, atau lembaga kesehatan resmi. Konsultasi dapat dilakukan di poli gizi puskesmas maupun klinik, bukan dari tips influencer yang tidak memiliki latar belakang medis.
“Setiap orang memiliki metabolisme berbeda, jadi pola makan pun harus disesuaikan secara personal,” tambahnya.
Menurut Nadiatul Husniyah Sholhan, rendahnya literasi gizi dan minimnya akses terhadap informasi yang benar menjadi faktor utama masyarakat mudah percaya pada tren diet ekstrem. “Banyak orang tergoda dengan hasil cepat, padahal proses penurunan berat badan yang sehat membutuhkan waktu dan konsisten,” ujarnya.
Nadiatul Husniyah Sholhan, menegaskan bahwa kunci utama menurunkan berat badan bukan dengan menyiksa diri atau menahan lapar, melainkan mengatur pola makan seimbang, berolahraga teratur, dan menjaga konsistensi gaya hidup sehat.
“Diet bukan sekadar tren, tapi komitmen jangka panjang untuk menjaga kesehatan. Tubuh kita bukan tempat eksperimen, jadi perlakukanlah dengan bijak,” tegasnya dengan nada mengingatkan.
Editor: Miftakhul sholehah