Budaya Nongkrong Sambil Ngerjain Tugas: Produktif atau Jebakan?

Di kampus modern, terlihat tren di mana mahasiswa tidak hanya nongkrong di kafe untuk bersantai, tapi juga untuk belajar dan menyelesaikan tugas. Tren ini terutama tampak di kota-kota kampus seperti Yogyakarta dan Bandung dalam dua tahun terakhir, seiring meningkatnya jumlah kafe yang menyediakan ruang belajar. Fenomena ini semakin mendapat ruang dalam gaya hidup akademik, tapi apakah produktif atau justru jebakan konsumtif?

‎‎Menurut sebuah artikel di Kumparan, banyak kafe di dekat kampus yang kini dijadikan “study hub” mahasiswa, terutama saat musim ujian. Suasana kafe yang nyaman, Wi-Fi cepat, atau pencahayaan hangat membuat mahasiswa merasa lebih fokus dibanding belajar di kamar kos. Salah satu mahasiswa bahkan menyatakan bahwa sejak bayar secangkir kopi, rasanya “terpaksa” fokus agar tugas benar-benar selesai.‎‎

Sumber: Twitter (X) @penerbitharu

Dari sisi angka, penelitian di jurnal MARSAHALA menunjukkan bahwa frekuensi mahasiswa nongkrong di kafe cukup tinggi: 60% responden ke kafe dua kali seminggu, dan durasi kunjungan sering mencapai empat jam per kali kunjungan. Lebih dari itu, 84% responden mengaku nongkrong di kafe untuk “mengerjakan tugas atau belajar.”‎‎

Tren ini memang bukan sekadar kebetulan. Penelitian kualitatif di Yogyakarta menyimpulkan bahwa nongkrong di warung kopi adalah bagian dari gaya hidup mahasiswa: “ketika nongkrong, mahasiswa … mengerjakan tugas, membaca buku, bercengkerama dengan teman, rapat …”‎‎

Lebih lanjut, kebiasaan nongkrong-serius ini tak melulu soal gaya hidup. Mahasiswa merasakan manfaat psikologis dari “co-presence” (kehadiran bersama): meski masing-masing sibuk dengan tugas, merasa dikelilingi teman yang juga fokus bisa menumbuhkan energi positif dan ikatan sosial diam-diam.‎‎

Tapi, pertanyaan besar tetap: apakah kebiasaan ini selalu sehat? Jika niatnya belajar tercapai, kafe bisa jadi ruang produktif. Namun jika hanya alasan “kekinian” atau untuk eksistensi media sosial, bisa jadi itu jebakan gaya hidup konsumtif.‎‎

Pada akhirnya, pilihan kembali ke mahasiswa: ingin nongkrong sambil produktif atau hanya nongkrong belaka. Keseimbangan dan niat jelas dibutuhkan agar tradisi ini tidak berubah menjadi beban finansial dan distraksi.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *