Jagat Rasa: Ketika Panggung Mengajak Penonton Berpikir Ulang tentang Pilihan Hidup

Dokumentasi Pribadi

Sorot lampu perlahan meredup, suara penonton mengendap dalam hening, dan panggung Aula Bambang Lelono Fakultas Ilmu Budaya berubah menjadi ruang perenungan. Melalui pagelaran Jagat Rasa 2025 yang berlangsung pada 10–12 Desember 2025, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023 tidak sekadar menyuguhkan pertunjukan teater, melainkan menghadirkan ajakan refleksi tentang kegagalan, komitmen, dan keberanian untuk bangkit.

Berbeda dari pertunjukan yang menekankan dramatika berlebihan, Jagat Rasa justru menawarkan cerita yang dekat dengan pengalaman sehari-hari. Salah satu pesan kuat yang tertangkap penonton adalah tentang sikap menghadapi kegagalan. Tokoh-tokoh dalam pementasan digambarkan tidak larut dalam keterpurukan, melainkan dihadapkan pada pilihan: mengakui kesalahan dan menentukan arah hidup selanjutnya. Pesan ini terasa relevan di tengah kecenderungan generasi muda yang kerap terjebak dalam kenikmatan sesaat tanpa komitmen jangka panjang.

Dokumentasi Pribadi

Seorang penonton, Iin, menilai bahwa kekuatan utama pementasan ini terletak pada pesan moral yang tidak disampaikan secara menggurui. “Pementasan ini mengajarkan untuk tetap percaya pada komitmen dan tidak terus-menerus terjebak pada kegagalan yang sama,” ujarnya. Menurutnya, cerita yang dihadirkan mampu menyentuh karena konflik tokoh terasa manusiawi dan dekat dengan realitas sosial.

Dari sisi artistik, Jagat Rasa menunjukkan proses kreatif yang matang. Para pemain tidak hanya menghafal dialog, tetapi membangun karakter secara mendalam. Pendalaman peran terlihat dari gestur, emosi, dan kesinambungan alur yang terjaga sepanjang pementasan. Hal ini membuat penonton dapat mengikuti cerita tanpa merasa terputus, bahkan larut dalam emosi yang dibangun di atas panggung.

Kesan kuat juga muncul dari kerja kolaboratif tim produksi. Mulai dari sutradara, aktor, hingga tim penyelenggara kelas B, seluruh elemen pertunjukan tampak bekerja dalam satu visi. Tata panggung, properti, dan pengaturan adegan mendukung cerita tanpa berusaha mencuri perhatian secara berlebihan, sehingga fokus tetap pada pesan yang ingin disampaikan.

Bagi sebagian penonton, Jagat Rasa bukan hanya hiburan, tetapi sarana untuk menumbuhkan empati dan kecintaan terhadap karya sastra. Melalui pementasan ini, nilai-nilai baik dan buruk dalam tindakan manusia disajikan secara seimbang, memberi ruang bagi penonton untuk menafsirkan sendiri maknanya. Emosi yang tercipta tidak dipaksakan, melainkan mengalir seiring perkembangan konflik cerita.

Harapan pun muncul agar Jagat Rasa dapat terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Menurut Iin, pagelaran semacam ini penting sebagai ruang kritik sosial yang disampaikan dengan bahasa seni yang lentur dan mudah dinikmati. “Semua yang dipersiapkan sudah berjalan dengan baik. Tidak ada kekurangan berarti dalam akting para pemain, sehingga emosi penonton benar-benar ikut terbangun,” ungkapnya.

Jagat Rasa membuktikan bahwa panggung mahasiswa mampu menjadi medium penyampaian pesan yang jujur dan relevan. Ketika sastra, akting, dan kepekaan sosial bertemu, teater tidak hanya dipentaskan—ia dirasakan, direnungkan, dan tinggal lebih lama dalam ingatan penontonnya.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *