Botol di Ujung Cerita

Purwokerto—Aku adalah botol kaca yang dipegang oleh seorang pria bernama Surya. Aku menjadi saksi teriakan, keheningan, dan keputusan-keputusan yang tak pernah benar-benar sederhana. Langkahnya yang gontai dan seretan alas kakinya menjadi satu-satunya suara di kegelapan malam ketika dia membawaku ke tikungan jalan.

Sumber: Dokumen Pribadi

“Anggur adalah teman terbaikku!” Itulah kata-kata yang selalu terucap oleh Surya kepada mulut-mulut yang suka mempertanyakan. Ia berulang kali menegaskan bahwa aku adalah sahabat yang selalu menemaninya. Sebuah minuman malam yang bisa membuatnya seakan terbebas dari masalahnya hanya untuk waktu yang sangat fana.

Tikungan jalan yang awalnya sepi itu, perlahan dipenuhi dengan kisah-kisah dari yang asing yang perlahan saling mengerti. Surya terus menerus menegukku hingga cairan pelarian itu tersisa sedikit. Ia bercerita pada kenalan-kenalannya itu tentang masa lalunya yang kelam dan penuh penyesalan. Dulu, perempuan yang ia nikahi adalah perempuan malam—bukan karena gelap yang ia pilih, melainkan karena terang tak pernah memberinya tempat. Namun, Surya pergi—meninggalkan rumah dan istri yang mengandung—untuk perempuan lain.

Ketika ia kembali, rumah itu masih berdiri, tetapi isinya telah berubah. Istrinya tidak lagi ada. Tak ada yang bisa memastikan ke mana ia pergi. Surya tidak mencari kepastian. Ia merasa tidak berhak menuntut jawaban. Yang ia temui hanyalah anaknya, yang kini telah tumbuh besar tanpa kehadirannya.

Anak itu sering berteriak, memegangi kepalanya, mengeluh sakit seperti ditusuk dari dalam. Hari-harinya diisi keluhan yang sama, berulang, tanpa jeda. Ia menghabiskan waktu duduk di rumah itu, mendengarkan suara yang terus mengulang rasa sakit. Tak ada percakapan tentang masa lalu, tak ada pengakuan sebagai ayah. Yang ada hanya jarak panjang yang tak bisa ditarik mundur.

Sebuah jeritan kesakitan terdengar hingga tikungan jalan itu membuat seisi tongkrongan menjadi kaget. Suara keras yang pilu itu adalah jeritan anak laki-laki Surya yang sudah kehilangan akal dan terus menerus mengeluh bahwa sakit di kepalanya terasa seperti ditusuk jarum.

Rintihan dan teriakan antara dia dan anaknya yang bahkan tak mengakuinya hampir selalu membuat kacaku retak karena suara nyaring yang penuh emosi. Dua suara itu saling membentur satu sama lain di tengah panggung.

Sumber: Dokumen Pribadi

Setelah berhasil membujuk anaknya pergi tidur, Surya turut menggenggamku ikut pulang ke rumahnya. Aku juga melihat si Botak yang mengikutinya dari belakang. Tangisan kesakitan anaknya pun mereda begitu ia terlelap di dunia mimpi. Surya meraih sebuah botol di atas meja. Namun, kali ini bukan aku yang ditegak oleh Surya, melainkan sebotol racun yang ia anggap sebagai pembebasnya dari rantai derita kehidupan.

Aku masih botol yang sama—properti yang sejak awal disangka akan menjadi pelarian. Padahal aku hanya saksi, seperti meja ini, seperti dinding ini, seperti rumah yang menyimpan terlalu banyak keterlambatan.

Dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya tampak begitu tenang, seolah amarah meledak-ledak itu lenyap seperti kabut pagi yang disiram oleh sinar mentari.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *