Purwokerto-Di sebuah jalan kecil, pagi tidak datang dengan gegap gempita. Ia hadir perlahan—bersama cahaya yang merayap, suara langkah kaki para pekerja Tahu Grendeng, dan aroma pecel yang menguar dari sudut panggung. Dari ruang sederhana itulah drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil bergerak, menyusun cerita tentang manusia, penilaian, dan empati yang kerap lahir di tempat-tempat paling biasa. Melalui pilihan artistik yang tampak tenang, tim produksi mengajak penonton menyusuri alur cerita yang tidak tergesa, namun menyimpan lapisan makna di setiap adegannya. Karya ini dipentaskan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023 Unsoed.
Pagi, Pecel, dan Awal yang dibiarkan Sederhana
Pagi dan seporsi pecel bukan sekadar pembuka cerita. Ia dibiarkan hadir apa adanya, mengikuti naskah yang sejak awal memang menempatkan kehidupan masyarakat pada jam-jam paling awal hari. Asisten sutradara menjelaskan bahwa tidak ada keinginan untuk mengubah bagian ini. Latar pagi, penjual pecel, dan para pekerja yang bersiap berangkat kerja dipertahankan sebagai fondasi cerita. Perubahan justru dilakukan pada detail kecil yaitu tempat, waktu, dan penamaan tokoh. Hal ini bertujuan agar karakter-karakter yang sebelumnya hanya dikenal lewat julukan bisa terasa lebih dekat dan personal.

(Sumber: dokumen pribadi)
Ketika Warga Merasa Perlu Penjadi Hakim
Konflik mulai bergerak saat pemuda asing itu didalih tidak mau membayar seporsi pecel Mbok. Perdebatan yang muncul bukan semata soal uang yang tertinggal, melainkan tentang dorongan warga untuk mempertahankan apa yang mereka sebut sebagai keadilan. Di titik ini, emosi warga menjadi pusat cerita. Suara-suara saling tumpang tindih, gestur tubuh membesar, dan jalan kecil berubah menjadi ruang penilaian bersama.

(Sumber: dokumen pribadi)
Komedi yang Tak Dibiarkan Kosong
Tawa memang muncul cukup sering. Namun komedi tidak dibiarkan berdiri sendiri. Dialog-dialog sarkas disisipkan untuk menjaga agar kelucuan tetap memiliki arah. Menurut asisten sutradara, keseimbangan ini lahir dari proses latihan yang panjang juga melalui kritik, pengamatan, dan penyesuaian berulang. Ketika cerita mendekati akhir, komedi perlahan ditarik mundur. Adegan antara Mbok dan Si Pemuda berubah serius, seolah panggung ikut menurunkan volumenya.

Kaos yang Ditinggalkan, Tanggung Jawab yang Dipikul
Adegan penyerahan kaos menjadi titik berat emosional. Kaos itu bukan sekadar jaminan, melainkan simbol tanggung jawab yang harus ditunaikan. Si pemuda menyerahkan bajunya di bawah tekanan, di tengah tatapan banyak orang. Tindakan itu menandai bahwa setiap perbuatan sekecil apa pun akan selalu menuntut konsekuensi.

(Sumber: dokumen pribadi)
Simpatik Mbok yang Datang dari Ingatan Lama
Simpati Mbok bukan hadir tiba-tiba. Ia tumbuh dari karakter yang sejak awal memang dibentuk sebagai sosok penuh empati. Ingatan tentang anaknya menjadi latar emosional yang diam-diam bekerja. Dari sanalah Mbok melihat Si Pemuda bukan hanya sebagai orang asing, tetapi sebagai manusia yang sedang tersesat. Kaos yang sempat berpindah tangan akhirnya Kembali ke Si Pemuda bukan sebagai penghapusan kesalahan, melainkan sebagai bentuk pengertian.

(Sumber: dokumen pribadi)
Sound yang Hilang dan Akhir yang Tidak Menggantung
Adegan kehilangan sound di akhir cerita merupakan tambahan dari tim produksi. Pilihan ini diambil agar cerita tidak berhenti pada tangis Mbok semata. Dengan menghadirkan pencurian itu, alur cerita ditutup lebih jelas: yaitu Si Pemuda kembali muncul sebagai sosok yang pernah dikasihani, lalu kembali dicurigai.
Cerita tidak menawarkan jawaban mutlak, tetapi memberikan penegasan bahwa hidup di jalan kecil itu tidak pernah benar-benar hitam atau putih.
