
Purwokerto — Senja berganti malam menjadi latar pementasan drama Orang-orang di Tikungan Jalan yang menarik perhatian penonton. Panggung ditata secara sederhana, menyerupai sebuah tikungan jalan kecil yang hanya diterangi cahaya lampu listrik. Di tengah udara malam yang dingin, ruang itu perlahan berubah menjadi tempat bertemunya cerita-cerita hidup yang selama ini kerap terpinggirkan.
Pertunjukan diawali oleh kehadiran Djoko, seorang pria yang larut dalam lamunannya. Keheningan yang mengiringi kemunculannya menjadi pembuka rangkaian kisah yang kemudian mengalir satu per satu. Dari momen sunyi itu, penonton diajak menelusuri kehidupan orang-orang yang hidup di pinggiran masyarakat.
Tokoh-tokoh lain mulai bermunculan dengan latar kehidupan masing-masing. Sri, seorang perempuan yang menjalani hidup sebagai pekerja seks komersial. Ia membawa cerita tentang kerasnya realitas yang harus dihadapi setiap hari. Meski demikian, di balik kehidupan yang berat, Sri tetap menyimpan secercah harapan yang ia genggam dalam diam.

Perhatian penonton kemudian tertuju pada Botak, pria dengan topi yang memiliki cara pandang filosofis terhadap kehidupan. Lewat dialog-dialognya yang sederhana namun penuh makna, Botak menawarkan sudut pandang berbeda tentang hidup dan nasib. Bersama Djoko dan Sri, ia terlibat dalam obrolan ringan yang mengalir sambil menikmati wedang kacang dari seorang pedagang. Dari percakapan itulah, berbagai pandangan tentang manusia dan kehidupan di tikungan jalan terungkap.
Obrolan mereka perlahan membuka pintu bagi kisah-kisah lain yang tak kalah pahit. Cerita tentang seorang pelacur yang tidak memperoleh bayaran setelah melayani pelanggannya, seorang pemuda dengan gangguan kejiwaan yang terus mencari bapaknya, hingga seorang pemabuk yang menyalurkan perasaannya melalui lantunan sajak-sajak, hadir silih berganti. Drama ini menyusun potret kehidupan di sisi lain kota yang keras namun nyata.
Drama Orang-orang di Tikungan Jalan ini menghadirkan kisah kehidupan masyarakat pinggiran beserta berbagai tantangan yang mereka hadapi. Persoalan cinta, kemiskinan, pelecehan, hingga harapan akan kehidupan yang lebih baik disajikan tanpa nada menghakimi. Drama ini mengajak penonton menengok sisi lain dunia, sisi yang sering luput dari perhatian, namun sesungguhnya dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, pementasan ini mengingatkan bahwa di sudut-sudut kota yang sunyi, selalu ada manusia dengan cerita, luka, dan harapan. Tikungan jalan dalam drama ini tidak sekadar menjadi tempat singgah, melainkan ruang kemanusiaan, tempat kisah-kisah kecil bertemu dan menemukan maknanya.
Editor: Khansa Faiza Rahmah
