Menemukan Titik Tengah di Tikungan Jalan: Surati dan Pergulatan Emosi di Panggung Jagat Rasa

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Lampu panggung menyala perlahan, menyoroti seorang perempuan yang berdiri di antara amarah dan kesedihan. Suaranya bergetar, tetapi kata-katanya tegas. Di hadapan penonton, tokoh Surati tidak sekadar berbicara tentang cinta, melainkan tentang kepercayaan yang runtuh dan usaha manusia untuk tetap bertahan di tengah luka. Momen itu menjadi salah satu potret emosional yang hadir dalam drama Orang-Orang di Tikungan Jalan.

Drama tersebut dipentaskan pada hari kedua pentas penyutradaraan Jagat Rasa yang diselenggarakan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Kelas B angkatan 2023. Pementasan berlangsung pada Kamis, 11 Desember 2025, di Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman. Pentas ini merupakan bagian dari proses akademik mahasiswa dalam mengolah karya sastra menjadi pertunjukan teater melalui pendekatan penyutradaraan.

Salah satu tokoh yang menyita perhatian adalah Surati, yang diperankan oleh Maulin Indah Verani. Surati digambarkan sebagai perempuan berkepribadian lembut, mudah terbawa perasaan, dan terjebak dalam cinta yang ia pertahankan meskipun menyakitkan. Karakter ini hadir sebagai representasi manusia yang sering kali lebih mengikuti rasa daripada logika.

Drama karya W. S. Rendra ini mengisahkan sejumlah tokoh dengan persoalan hidup masing-masing yang bertemu di sebuah tikungan jalan. Tempat tersebut menjadi ruang pertemuan bagi mereka yang sedang mencari arah, membagikan masalah, dan mencoba memahami satu sama lain. Bagi Surati, tikungan jalan bukan sekadar lokasi peristiwa, melainkan ruang untuk mempertemukannya kembali dengan Joko, sosok yang menjadi pusat konflik batinnya. Di sanalah mereka saling menjelaskan sudut pandang, mempertentangkan perasaan, hingga berusaha menemukan titik tengah hubungan yang retak.

Dalam proses mendalami peran Surati, Maulin mengungkapkan bahwa rasa yang paling dominan ia bangun adalah kesedihan dan kekecewaan. Surati berada dalam posisi mencintai seseorang yang tidak lagi sepenuhnya mempercayainya. Emosi tersebut tidak ditampilkan secara tunggal, melainkan hadir berlapis antara marah dan sedih, sehingga menuntut pengendalian emosi yang cermat di atas panggung.

Untuk membangun kedalaman karakter, Maulin menggunakan pendekatan emosional dengan memosisikan dirinya seolah berada dalam situasi yang dialami Surati. Pengalaman personal yang relevan diolah menjadi bahan refleksi, lalu diterjemahkan ke dalam ekspresi artistik yang terukur. Tantangan terbesarnya adalah menjaga keseimbangan emosi, terutama ketika dialog menuntut perubahan rasa yang cepat tanpa kehilangan keutuhan karakter.

Arahan sutradara berperan penting dalam menjaga konsistensi tersebut. Selama proses latihan hingga pementasan, para aktor dibiasakan untuk sepenuhnya meninggalkan identitas pribadi dan hidup sebagai karakter yang mereka mainkan. Pemanggilan nama karakter, baik di panggung maupun di balik layar, menjadi salah satu cara untuk menjaga “rasa” agar tetap terjaga dan tidak tercampur dengan identitas diri.

Salah satu adegan yang paling menguras emosi adalah ketika Surati menyampaikan dialog yang mempertemukan kemarahan dan kesedihan dalam satu tarikan napas. Adegan tersebut menjadi titik emosional yang menandai puncak konflik batin Surati, sekaligus memperlihatkan kompleksitas perasaan manusia ketika cinta dan kepercayaan saling berbenturan.

Melalui peran Surati, Maulin merefleksikan bahwa cinta kerap membuat seseorang kehilangan kejernihan berpikir. Namun, drama ini juga menghadirkan pesan bahwa setiap manusia memiliki masalah, dan setiap masalah, meskipun tidak selalu selesai dalam satu waktu, pada akhirnya akan menemukan jalannya. Pesan tersebut tidak disampaikan sebagai nasihat, melainkan sebagai pengalaman emosional yang dibagikan kepada penonton melalui panggung, meninggalkan ruang bagi setiap orang untuk menafsirkan maknanya sendiri.

Editor:

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *