Representasi Sistem Kasta melalui Tokoh Gusti Biang

Pementasan drama Bayang di Balik Singgasana yang digelar oleh Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023 Universitas Jenderal Soedirman pada 12 Desember 2025 di Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya, Unsoed, menghadirkan kisah tentang kekuasaan, keluarga, dan tradisi yang mengikat kuat. Diadaptasi dari naskah Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya, pementasan ini tidak hanya menyuguhkan konflik dramatik di atas panggung, tetapi juga membuka ruang refleksi sosial melalui tokoh-tokohnya. Gusti Biang menjadi salah satu tokoh yang paling menonjol, sosok perempuan bangsawan Bali yang merepresentasikan sistem kasta secara tegas dan konsisten sepanjang pementasan.

Gusti Biang digambarkan sebagai perempuan tua dari kasta tinggi yang memegang teguh nilai-nilai kebangsawanan. Dalam pandangannya, garis kasta adalah batas yang tidak boleh dilanggar. Seorang bangsawan, menurut Gusti Biang, hanya pantas bergaul dengan sesama bangsawan, sementara kaum sudra ditempatkan pada posisi yang lebih rendah. Sikap ini tidak hanya ia tunjukkan dalam ucapan, tetapi juga dalam perlakuan sehari-hari terhadap orang-orang di sekitarnya.

Dokumen pribadi penulis

Sepanjang pementasan, Gusti Biang kerap tampil dengan nada tinggi dan amarah yang meledak-ledak, terutama saat berhadapan dengan tokoh si Purbani dan anaknya yang bernama Nyoman, yang berasal dari kaum sudra. Pilihan kata yang kasar dan sikap merendahkan menjadi gambaran jelas bagaimana relasi kuasa bekerja. Purbani dan Nyoman tidak sekadar diposisikan sebagai pembantu, tetapi juga sebagai simbol kelompok sosial yang dianggap tidak sejajar dengan keluarga bangsawan seperti Gusti Biang.

Relasi sosial yang timpang itu semakin terlihat dalam hubungan Gusti Biang dengan anak perempuannya, Ida Ratu. Gusti Biang menyekolahkan Ida Ratu ke luar Bali dengan harapan besar yaitu pendidikan menjadi jalan untuk mempertahankan martabat keluarga sekaligus mempersiapkan pernikahan dengan laki-laki dari kasta bangsawan. Bagi Gusti Biang, masa depan anaknya telah dirancang sejalan dengan nilai-nilai kasta yang ia yakini.

Konflik memuncak ketika Gusti Biang menerima surat dari Ida Ratu yang menyatakan keinginannya untuk berhenti sekolah. Kemarahan Gusti Biang semakin menjadi saat ia mengetahui bahwa Ida Ratu menjalin hubungan persahabatan dengan Nyoman, anak dari Purbani yang selama ini dipandang rendah. Menanggapi hal tersebut, Gusti Biang secara tegas menyuruh Ida Ratu untuk menghentikan persahabatan itu, karena baginya hubungan lintas kasta bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan ancaman terhadap tatanan sosial dan martabat bangsawan yang selama ini ia junjung tinggi.

Melalui rangkaian peristiwa itu, tokoh Gusti Biang tampil bukan sekadar sebagai figur antagonis. Ia menjadi representasi sistem kasta yang hidup, bernapas, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Amarah dan penolakannya terhadap kaum sudra mencerminkan bagaimana tradisi dapat berubah menjadi alat pembatas relasi manusia, bahkan di dalam lingkup keluarga sendiri.

Pementasan Bayang di Balik Singgasana menjadikan Gusti Biang sebagai cermin dari struktur sosial yang masih relevan untuk dibicarakan. Melalui tokoh ini, penonton diajak melihat bahwa konflik bukan hanya terjadi di atas panggung, tetapi juga hadir dalam realitas masyarakat yang diikat oleh stratifikasi sosial. Gusti Biang berdiri sebagai bayang-bayang kekuasaan yang terus menjaga singgasananya, sekaligus mengingatkan bahwa tradisi yang tidak dikritisi dapat mengabadikan sebuah ketidakadilan.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *